Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan Sampai Orde Lama (1945- 1966)

Perkembangan pendidikan sejak Indonesia mencapai kemerdekaan
memberikan gambaran yang penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha
penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik
yang telah berjasa dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran.
Dalam kongres pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut
membentuk panitia perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran.
Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah sistem pendidikan yang
berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesia sendiri.
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa
dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek
pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat.
Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara
anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh
anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan
pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan
penjajahannya, yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan
tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam
Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan
diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya Barat, sehingga
tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman
Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian
pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun
juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam
melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan
kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi
dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang sangat signifikan.
Sebab, lewat pendidikan Jepanglah sistem pendidikan disatukan. Tidak
ada lagi pendidikan bagi orang asing dengan pengantar bahasa Belanda.
Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan setelah bangsa
Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda.
Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang
berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional
adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap
dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran
untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan
pengembangan jiwa patriotisme. Praktek pendidikan tidak bisa
dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi
maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa
mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan
nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas
pendidikan itu sendiri.
A. Pendidikan Masa Kemerdekaan (1945-1950)
Fokus utama pendidikan nasional ketika Indonesia lepas dari penjajahan
yaitu mencerdaskan dan meningkatkan kualitas serta kemampuan bangsa.
Tujuan sebenarnya dari pendidikan zaman kemerdekaan adalah untuk
mengisi tata kehidupan dan pembangunan. Tujuan tersebut mengalami
kendala, yaitu penjajah Belanda ingin menjajah kembali sehingga
memaksa kita kembali berjuang secara politik dan fisik serta adanya
kendala dari dalam yaitu pergolakan politik. Pendidikan pada masa
kemerdekaan walaupun dalam keadaan sulit tetapi tetap mampu
menghasilkan produk hukum tentang pendidikan, yaitu Undang- undang
pendidikan Nomor 4 tahun 1950. Itulah produk hukum pendidikan Nasional
pertama terlepas kemudian kita memandang bahwa produk hukum itu kurang
terang memberikan definisi tentang konsep dan sistem pendidikan
nasional.
Mohammad Yamin adalah menteri pendidikan, pengajaran , dan kebudayaan,
pada masa itu memberikan penerangan posisi pendidikan sebagai landasa
pembangunan masyarakat indonesia secara nasional, artinya pendidikan
harus mengangkat tata nilai sosial yang menjadi identitas bangsa
dengan corak budaya , tradisi , bahasa , agama ,ras, dan sukunya yang
beragam untuk menggantikan sitem pendidikan warisan kolonial. Secara
garis besar, pendidikan nasional adalah bentuk reaksi atas sistem
pendidikan yang bersifat deskriptif dan elitis. Oleh karenanya tujuan
pendidikan nasional adalah membentuk masyarakat yang demokratis.
Pada zaman kemerdekaan kondisi sosial politik sangatlah tidak stabil .
maka dari itu hal demikian sangat berpengaruh mengenai pola dan
dinamika pendidikan nasional saat itu, yaitu terjadi beberapa kali
perubahan arah dan orientasi pendidikan nasional , misalnya pada masa
permulaan kemerdekaan. Melalui SK Menteri Pendidikan, pengajaran dan
kebudayaan No. 104/Bhg. 0, tanggal 1 maret 1946, tujuan pendidikan
berorientasi pada usaha menananamkan jiwa patriotisme dan lebih jauh
dimaksudkan untuk menghasilkan patriot- patriot bangsa yang rela
berkorban untuk bangsa dan negaranya. Undang- undang No. 4 tahun 1950
pasal 3, tujuan pendidikan nasional berubah yaitu dengan adanya
pperumusan tujuan pendidikan dan pengajaran (lihat lampiran hal :35 ).
Pada tanggal 25 November 1945, berdiri Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI) yang mempunyai asas-asas perjuangan sebagai berikut :
1. mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia,
2. mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan
dasar-dasar kerakyatan,
3. membela hak dan nasib buruh pada umumnya dan guru pada khususnya.
Dengan dicantumkannya asas pertama, yaitu " mempertahankan dan
menyempurnakan Republik Indonesia, PGRI jelas bertujuan pertama- tama
untuk lebih mengutamakan perjuangan dalam mempertahankan dan mengisi
kemerdekaan dari pada kepentingan – kepentingan lain sehingga dengan
demikian partisipasi guru dalam pengabdian dan perjuangan kemerdekaan
tidak sedikit. Contohnya para anak didik mereka ikut serta dalam
perjuangan republik, disamping mereka tetap mengerjakan tugas sebagai
pendidik selama perang kemerdekaan.
Tapi dalam kenyataannya, usaha perbaikan dan peningkatan pendidikan
tersebut tidaklah semata-mata hanya diatur oleh pemerintah, tetapi
masyarakat ataupun swasta pun dapat ikut ambil bagian didalamnya.
Kebijaksanaan politik pendidikan para menteri yang bertugas antara
tahun 1945-1950 dapat dikatakan belum bisa dirasakan atau belum
terlihat hasilnya. Tentunya, hal ini berkaitan dengan kondisi sosial,
politik, dan ekonomi, dan itu sangat kentara bagaimana pergantian
kementerian pendidikan diganti secara cepat dan berulang-ulang.
Kita bisa menyimpulkan bahwa usaha-usaha nyata yang pernah dilakukan
pemerintah berkaitan dengan pendidikan antara tahun 1945-1950 adalah
seputar bangunan sekolah, guru, kurikulum, sistem kerja,serta biaya.
Berkaitan dengan keperluan bangunan sekolah , tindakan utama adalah
mengatasi bangunan rusak atau hancur lebur akibat revolusi fisik atau
bangunan tersebut dipakai oleh pemerintah. Langkah pemerintah
mengantispasi adalah sebagai berikut :
1. Mendirikan bangunan–bangunan sekolah baru kendati hal itu tidak
mencukupi kebutuhan.
2. Menggunakan perumahan- perumahan rakyat/swasta yang memadai untuk
dijadikan bangunan sekolah, dan
3. Menyelenggarakan sistem mengajar dua kali sehari yang berarti bahwa
satu bangunan sekolah dipergunakan oleh dua sekolah dan menyita waktu
sekolah waktu dan sore.
Disamping dilakukannya usaha pemerintah dalam mengatasi usaha
kekurangan bangunan sekolah tersebut, juga tidak kekurangan
partisipasi masyarakat yang bergotong royong membangun bangunan
sekolah dengan peralatannya dan yang kemudian disumbangkan kepada
pemerintah. Usaha semacam itu juga merupakan suatu cara yang bertujuan
hendak membentuk kelas masyarakat dan dengan harapan pelajaran di
sekolah akan disesuaikan dengan keadaan masyarakat pada waktu itu.
Pengajaran sebelum kemerdekaan disadari menunjukan sifat apatis,
sedangkan hubungan antara orang tua murid dan guru tidaklah erat.
Seperti yang diketahui bahwa pada fase- fase awal perjuangan
kemerdekaan,republik telah mendapat bantuan langsung atau tidak
langsung baik material maupun moral, dari berbagai pihak yang
mempunyai itikad baik terhadap bangsa Indonesia. Sebagai contoh nyata
, India dan Australia termasuk negara yang telah menunjukan simpatinya
secara positif terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Demikianlah pendidikan antara tahun 1945- 1950 adalah pendidikan masa
perjuangan. Ciri – cirri utama pada masa periode ini ialah terdapat
semacam dualisme dalam pendidikan. Disalah satu pihak pendidikan dan
pengajaran berlangsung di daerah- daerah negara federalyang dikuasai
atau dipengaruhi Belanda, sedangkan dipihak lain langsung dikuasai
oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Kaum penjajah Belanda juga berusaha membuka sejumlah perguruan tinggi
di daerah – daerah penduduknya, tujuannya untuk menarik angkatan muda
atau kader- kader bangsa dari segala lapangan dengan janji serta
harapan yang muluk- muluk. Di daerah pendudukan Belanda yang berpusat
di Jakarta secara diam- diam berdiri Balai Perguruan Tinggi Republik
Indonesia dengan seluruh civitas Akademiknya yang non-kooperator dan
asli republiken. Hal tersebut merupakan kekuatan perjuangan kemerdekan
Republik Indonesaia yang sewaktu-waktu dapat menusuk penjajah dari
dalam.
1. Struktur persekolahan dan Kurikulum Pendidikan pada masa awal kemerdekaan
Tata susunan persekolahan sesudah Indonesia merdeka yang berdasarkan
satu jenis sekolah untuk tiga tingkat pendidikan seperti pada zaman
Jepang tetap diteruskan, sedangkan rencana pembelajaran pada umumnya
sama dan bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar untuk
sekolah. Buku-buku pelajaran yang digunakan adalah buku-buku hasil
terjemahan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia yang sudah
dirintis sejak jaman Jepang.
Adapun susunan persekolahan dan kurikulum yang berlaku sejak tahun
1945-1950 adalah sebagai berikut:
1) Pendidikan Rendah
Pendidikan yang terendah di Indonesia sejak awal kemerdekaan yang
disebut dengan Sekolah Rakyat (SR) lama pendidikannya semula 3 tahun
menjadi 6 tahun. Maksud pendirian SR ini adalah selain meningkatkan
taraf pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan juga dapat menampung
hasrat yang besar dari mereka yang hendak bersekolah. Mengingat
kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri PKK tanggal 19
Nopember 1946 No. 1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran SR
dimana tekanannya adalah pelajaran bahasa berhitung. Hal ini dapat
telihat bahwa dari 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam adalah untuk
bahasa Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah dan 17 jam berhitung untuk
kelas IV, V dan VI. Tercatat sejumlah 24.775 buah SR pada akhir tahun
1949 pada akhir tahun 1949 di seluruh Indonesia.
2) Pendidikan Guru
Dalam periode antara tahun 1945-1950 dikenal tiga jenis pendidikan guru yaitu:
• Sekolah Guru B (SGB) lama pendidikan 4 tahun dan tujuan pendidikan
guru untuk sekolah rakyat. Murid yang diterima adalah tamatan SR yang
akan lulus dalam ujian masuk sekolah lanjutan. Pelajaran yang
diberikan bersifat umum untuk di kelas I,II,III sedangkan pendidikan
keguruan baru diberikan di kelas IV. Untuk kelas IV ini juga dapat
diterima tamatan sekolah SMP, SPG dipimpin oleh seorang kepala sekolah
yang membawahinya sejumlah guru dan diantaranya merupakan tenaga tidak
tetap karena memang sangat kekuarangan guru tetap. Adapun sistem ujian
pelaksanaannya dipecah menjadi dua yaitu, pertama ditempuh di kelas II
dan ujian kedua di kelas IV.
• Sekolah Guru C (SGC) berhubung kebutuhan guru SR yang mendesak maka
terasa perlunya pembukaan sekolah guru yang dalam tempo singkat dapat
menghasilkan. Untuk kebutuhan tersebut didirikan sekolah guru dua
tahun setelah SR dan di kenal dengan sebutan SGC tetapi karena
dirasakan kurang bermanfaat kemudian ditutup kembali dan diantaranya
dijadikan SGB.
• Sekolah guru A (SGA) karena adanya anggapan bahwa pendidikan guru 4
tahun belum menjamin pengetahuan cukup untuk taraf pendidikan guru,
maka dibukalah SGA yang memberi pendidikan tiga tahun sesudah SMP.
Disamping Itu dapat pula diterima pelajar-pelajar dari lulusan kelas
III SGB. Mata pelajaran yang diberikan di SGA sama jenisnya dengan
mata pelajaran yang diberikan di SGB hanya penyelenggaraannya lebih
luas dan mendalam.

3) Pendidikan Umum
Ada dua jenis pendidikan Umum yaitu sekolah menengah pertama (SMP) dan
sekolah menengah Tinggi (SMT).
• Sekolah Menengah Pertama (SMP) seperti halnya pada zaman jepang, SMP
mempergunakan rencana pelajaran yang sama pula, tetapi dengan
keluarnya surat keputusan menteri PPK tahun 1946 maka diadakannya
pembagian A dan B mulai kelas II sehingga terdapat kelas IIA,IIB, IIIA
dan IIIB. Dibagian A diberikan juga sedikit ilmu alam dan ilmu pasti.
Tetapi lebih banayak diberikan pelajaran bahasa dan praktek
administrasi. Dibagian B sebaliknya diberikan Ilmu Alam dan Ilmu
Pasti.
• Sekolah Menengah Tinggi (SMT): Kementerian PPK hanya mengurus
langsung SMAT yang ada di jawa terutama yang berada di kota-kota
seperti: Jakarta,Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya
dan Cirebon. SMT di Luar Jawa berada di bawah pengawasan pemerintah
daerah berhubung sulitnya perhubungan dengan pusat. SMT merupakan
pendidikan tiga tahun setelah SMP dan setelah lulus dapat melanjutkan
ke perguruan tinggi. Mengenai rencana pelajaran belum jelas, dan yang
diberikan adalah rencana pelajaran dalam garis besar saja. Karena pada
waktu itu masih harus menyesuaikan dengan keadaan zaman yang masih
belum stabil. Demikian rencana pembelajaran yang berlaku yaitu: (1)
isinya memenuhi kebutuhan nasional, (2) bahasa pengantarnya adalah
bahasa Indonesia, (3) mutunya setingkat dengan SMT menjelang
kemerdekaan. Ujian akhir dapat diselenggarakan oleh masing-masing
sekolah selama belum ada ujian negara, tetapi setelah tahun 1947
barulah berlaku ujian negara tersebut.

4) Pedidikan Kejuruan
Yang dimaksud dengan pendidikan kejuruan adalah Pendidikan ekonomi dan
pendidikan kewanitaan:
• Pendidikan ekonomi: pada awal kemerdekaan pemerintah baru dapat
membuka sekolah dagang yang lama, pendidikannya tiga tahun sesudah
Sekolah Rakyat. Sekolah dagang ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
tenaga administrasi atau pembukuan, sedangkan penyelenggaraan sekolah
dagang tersebut dilaksanakan oleh inspektur sekolah dagang.
• Pendidikan Kewanitaan: sesudah kemerdekaan pemerintah membuka
Sekolah Kepandaian Putri (SKP) dan pada tahun 1947 sekolah guru
kepandaian putri (SGKP) yang lama pelajaranya empat tahun setelah SMP
atau SKP.

5) Pendidikan Teknik
Seperti sekolah lain, keadaan Sekolah Teknik tidaklah teratur karena
disamping pelajaranya sering terlibat dalam pertahanan negara, sekolah
tersebut kadang-kadang juga dipakai sebagai pabrik senjata. Sekolah
Teknik di Solo misalnya, dikerahkan untuk membuat senjata yang sangat
diperlukan kendali apa adanya. Adapun sekolah-sekolah teknik yang ada
pada masa itu ialah:
1) Kursus Kerajinan Negeri (KKN): sekolah/kursus ini lamanya satu
tahun dan merupakan pendidikan teknik terendah berdasarkan SR enam
tahun. KKN terdiri atas jurusan-jurusan: kayu, besi,anyaman.perabot
rumah, las dan batu.
2) Sekolah Teknik Pertama (STP): bertujuan mendapatkan tenaga tukang
yang terampil tetapi disertai dengan pengetahuan teori. Lama
pendidikan ini dua tahun sesudah SR dan terdiri atas jurusam-jurusan:
kayu, batu, keramik, perabot rumah, anyaman, besi ,listrik, mobil,
cetak, tenun kulit, motor, ukur tanah dan cor.
3) Sekolah Teknik (ST): bertujuan mendidik tenaga-tenaga pengawasan
bangunan. Lama pendidikan dua tahun stelah STP atau SMP bagian B dan
meliputi jurusan-jurusan: bangunan gedung, bangunan air dan jalan,
bangunan radio, bangunan kapal, percetakan dan pertambangan.
4) Sekolah Teknik menengah (STM): bertujuan mendidik tenaga ahli
teknik dan pejabat-pejabat teknik menengah. Lama pendidikan empat
tahun setelah SMP bagian B atau ST dan terdiri atas jurusan-jurusan:
bangunan gedung, bangunan sipil, bangunan kapal, bangunan mesin,
bangunan mesin, bangunan listrik, bangunan mesin kapal, kimia, dan
pesawat terbang.
5) Pendidikan guru untuk sekolah-sekolah teknik: untuk memenuhi
keperluan guru-guru sekolah teknik, dibuka sekolah/kursus-kursus untuk
mendidik guru yang menghasilkan:
• Ijazah A Teknik (KGSTP) guna mengajar dengan wewenang penuh pada STP
dalam jurusan: bangunan sipil, mesin, listrik dan mencetak.
• Ijazah B I Teknik (KGST) untuk mengajar dengan wewenang penuh pada
ST/STM kelas I dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung-gedung
dan mesin.
• Ijazah B II Teknik guna mengajar dengan wewenang penuh pada STM
dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung, mesin dan listrik.

6) Pendidikan Tinggi
Dalam periode 1945-1950 kesempatan untuk meneruskan studi pendidikan
tinggi semakin terbuka lebar bagi warga negara tanpa syarat. Lembaga
pendidikan ini berkembang pesat tetapi karena pelaksanaannya di
lakukan pada saat terjadi perjuangan fisik maka perkuliahan kerap kali
di sela dengan perjuangan garis depan
Lembaga pendidikan yang ada adalah Universitas Gajah Mada, beberapa
sekolah tinggi dan akademi di Jakarta (daerah kependudukan) Klaten,
Solo dan Yogyakarta. Sistem persekolahan serta tujuan dari
masing-masing tingkat pendidikan di atas diatur dalam UU No 4 Th 1950
bab V pasal 7 sebagai berikut: tentang jenis pendidikan dan pengajaran
dan maksudnya :
1. Pendidikan dan pengajaran taman kanak-kanak bermaksud menuntun
tumbuhnya rohani dan jasmani kanak-kanak sebelum ia masuk sekolah
rendah
2. Pendidikan dan pengajaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnya
rohani dan jasmani kanak-kanak, memberikan kesempatan kepadanya guna
mengembangkan bakat dan kesukaannya masing-masing dan memberikan
dasar-dasar pengetahuan, kecakapan, dan ketangkasan baik lahir maupun
batin.
3. Pendidikan dan pengajaran menengah umum bermaksud melanjutkan dan
meluaskan pendidikan dan pengajaran yang diberikan di sekolah-sekolah
rendah untuk mengembangkan cara hidup serta membimbing kesanggupan
murid sebagai anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam
pelbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan
kebutuhan masyarakat atau mempersiapkannya bagi pendidikan dan
pengajaran tinggi.
4. Pendidikan dan pengajaran tinggi bermaksud memberikan kesempatan
kepada pelajar untuk menjadi orang yang dapat memelihara kemajuan ilmu
dan kemajuan hidup kemasyarakatan
5. Pendidikan dan pengajaran kepada orang-orang yang dalam keadaan
kekurangan, baik jasmani maupun rohaninya supaya mereka dapat memliki
hidupnya lahir batin yang layak.

• Pendidikan Tinggi Republik
Perkembangan pendidikan tinggi sesudah proklamasi kendati mengalami
berbagai tantangan, tetapi tidak juga dapat dipisahkan dari perjuangan
mempertahankan kemerdekaan dan merupakan salah satu kekuatan dari
seluruh kekuatan rakyat Indonesia. Sejak awal kemerdekaan di Jakarta
pada waktu itu merupakan daerah pendudukan Belanda, berdiri sekolah
Tinggi kedokteran sebagai kelanjutan Ika Daigaku zaman Jepang. Pada
bulan Nopember 1946 dibuka pula Sekolah Tinggi Hukum serta filsafat
dan sastra. Setelah aksi agresi militer I kedua lembaga pendidikan
tinggi terakhir ini ditutup oleh Belanda sehingga secara resmi sudah
tidak ada lagi, dengan demikian pendidikan tinggi waktu itu terpecah
menjadi dua yaitu pendidikan tinggi republik dan Pendidikan tingkat
tinggi pendudukan Belanda. Tetapi kuliah-kuliah masih dilanjutkan di
rumah-rumah dosen sehingga merupakan semacam kuliah privat. Sebelum
agresi militer I di Malang terdapat pula lembaga pendidikan tinggi
republik. Demikian pula terdapat sekolah tinggi kedokteran hewan
sekolah tinggi teknik di Bandung dipindahkan ke Yogyakarta.
Sementara itu daerah Republik Indonesia sendiri terdapat
lembaga-lembaga pendidikan tinggi seperti :
1. Sekolah Tinggi Teknik didirikan pada 17 Februari 1946 oleh
Kementerian Pengajaran dan Kebudayaan Indonesia di Yogyakarta.
2. Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada didirikan pada 3 Maret 1946 oleh
Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, terdiri dari Fakultas
Hukum dan Fakultas Kesusastraan di Yogyakarta.
3. Perguruan Tinggi Kedokteran dan Kedokteran Gigi didirikan pada
Februari 1946 di Malang.
4. Perguruan Tinggi Kedokteran II didirikan pada 4 Maret 1946 di Solo.
5. Perguruan Tinggi Kedokteran I didirikan pada 5 Maret 1946 di Klaten.

2. Pendidikan Berbasis Agama
Penyelenggaraan pendidikan agama setelah Indonesia merdeka mendapat
perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah Negeri maupun
Swasta. Usaha untuk ini dimulai dengan memberikan bantuan terhadap
lembaga sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional
Pusat (BPKNP) 27 Desember 1945 menyebutkan bahwa :
Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan
pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat
Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan
nyata tuntutan dan bantuan material dari pemerintah.
Dasar negara yang telah disepakati bersama saat mendirikan negara
adalah Pancasila, yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 inilah yang
dijadikan pangkal tolak pengelolaan negara dalam membangun bangsa
Indonesia.
Meskipun Indonesia baru memproklamirkan kemerdekaannya dan tengah
menghadai revolusi fisik, pemerintah Indonesia sudah bebenah terutama
memperhatikan masalah pendidikan yang dianggap cukup vital dan untuk
itu dibentuklah Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK).
Dengan terbentuknya PPK tersebut, maka diadakanlah berbagai usaha
terutama sistem pendidikan dan menyelesaikannya dengan keadaan yang
baru.
Di tengah-tengah berkobarnya revolusi fisik, pemerintah RI tetap
membina pendidikan agama pada khususnya. Pembinaan pendidikan agama
itu secara formal institusional dipercayakan kepada Departemen Agama
dan Departemen P & K (Depdikbud). Oleh karena itu, maka dikeluarkanlah
peraturan-peraturan bersama antara kedua Departemen tersebut untuk
mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum (negeri dan
swasta). Adapun pembinaan pendidikan agama di sekolah agama ditangani
oleh Departemen Agama sendiri.
Pendidikan agama Islam mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada
bulan Desember 1946. Sebelum itu pendidikan agama sebagai pengganti
pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan
sendiri-sendiri di masing-masing daerah. Pada bulan Desember 1946
dikeluarkan peraturan bersama dua menteri yaitu Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan
mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat=Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Pada
masa itu keadaan keamanan di Indonesia belum dapat berjalan dengan
semestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan
agama mulai kelas I SR. Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan
Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947, yang dipimpin oleh Ki Hajar
Dewantara dari Departemen P & K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari
Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan dan menteri
pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950, di mana kedaulatan Indonesia telah pulih untuk
seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah
Indonesia, makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang
dipimpin Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama, Mr. Hadi dari
Departemen P & K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan
pada bulan Januari 1951, isinya ialah :
1. Pendidikan agama yang diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat
(Sekolah Dasar).
2. Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya di
Sumatera, Kalimantan, dll), maka pendidikan agama diberikan mulai
kelas I SR dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak boleh
berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya
diberikan mulai kelas IV.
3. Di sekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan)
diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
4. Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang
dalam satu kelas dan mendapat izin dari orangtua/walinya.
5. Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi
pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Pada pendidikan agama Katolik, umat katolik Indonesia sudah lama
menyadari, bahwa sumbangan yang amat berharga untuk pembangunan negara
adalah lembaga-lembaga pendidikan serta sosial yang bekerja dengan
tekun, tertib serta penuh semangat pengabdian dan keahlian. Sektor
pertama yang dibicarakan diatas adalah sektor pendidikan sebagai dasar
segala pembangunan. Akan tetapi pendidik umum tidaklah cukup untuk
negara yang sedang berkembang. Maka gereja mulai megarahkan
perhatiannya pada pendidikan kejuruan. Sekolah kejuruan bertambah
terutama di Nusa Tenggara. Tahun 1949 ada enam sekolah dan pada 1966
ada hampir empat puluh sekolah. Sekolah keahlian itu ada beberapa
bidang, seperti teknik mesin industri, kursus pertanian, lembaga
pendidikan dan pembinaan manajemen, dan sekolah usaha tani.
B. Pendidikan Masa Orde Lama (1950-1966)
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca
kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang
bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme
menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan
dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa
mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan
memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok
masyarakat tanpa memandang kelas sosial.
Perkembangan politik masa orde lama yang mempengaruhi jalannya
kebijakan pendidikan nasional adalah sejak 1959, Indonesia berada di
bawah gelora Manipol (Manifestasi Politik)-USDEK (UUD 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Manipol-Usdek
telah menjadi "dewa" dalam kehidupan politik Indonesia dan juga "dewa"
dalam bidang kehidupan lainnya, termasuk bidang pendidikan.
Keputusan Presiden Nomor 145 tahun 1965 merumuskan tujuan pendidikan
nasional pendidikan Indonesia sesuai dengan Manipol-Usdek, yaitu
"Tujuan pendidikan nasional, baik yang diselenggarakan oleh pihak
pemerintah maupun pihak swasta, dari pendidikan prasekolah sampai
pendidikan tinggi supaya melahirkan warga negara sosialis Indonesia
yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat
sosialis Indonesia, adil dan makmur spiritual maupun material dan
berjiwa Pancasila." Manusia sosialis Indonesia adalah cita-cita utama
setiap usaha pendidikan di Indonesia.
Berdasarkan intsruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 2
tanggal 17 Agustus 1961, diadakan perincian yang lebih lanjut mengenai
Pantja Wardhana/Hari Krida. Untuk menyesuaikan kebijakan pendidikan
dengan Manipol diinstruksikan sebagai berikut :
1. Menegaskan Pancasila dengan Manipol sebagai pelengkapnya sebagai
asas pendidikan Nasional.
2. Menetapkan Panca Wardhana sebagai sistem pendidikan yang berisi
prinsip-prinsip :
a. Perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral
nasional/internasional/keagamaan.
b. Perkembangan kecerdasan.
c. Perkembangan emosional artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir batin.
d. Perkembangan kerajinan tangan
e. Perkembangan jasmani
3. Menyelenggarakan "hari krida" atau hari untuk kegiatan-kegiatan
lapangan kebudayaan, kesenian, olahraga, dan permainan pada tiap-tiap
hari Sabtu.
Di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, Pancasila dan Manipol
diajarkan sebagai mata pelajaran. Demikian pula pendidikan agama
diberikan dengan pengertian bahwa mahasiswa berhak tidak ikut serta
apabila menyatakan keberatannya. Perguruan tinggi telah dijadikan
saran melaksanakan kehidupan politik yang hidup pada masa itu.
Dalam menyesuaikan perkembangan perguruan tinggi dengan politik
pemerintah pada waktu itu, dirumuskalah kebijakan Departemen PTIP
sebagai berikut.
1. Menghasilkan sarjana-sarjana pancasila/manipol dan ahli untuk
melaksanakan pembangunan. Kebijaksanaan negara sosialis yang mendidik
sarjana-sarjana red and expert. Sarjana-sarjana demikian membawa
kemajuan pesat dalam bidang pembangunan.
2. Mengintensifkan dan dorongan penelitian-penelitian, baik penelitian
dasar maupun terapan, yang ditujukan kepada kebutuhan masyarakat
Indonesia dengan memberikan prioritas kepada bidang sandang, pangan,
dan pembangunan.
3. Mewajibkan kepada perguruan-perguruan tinggi untuk mengintegrasikan
dirinya dengan masyarakat sehingga dapat menjadi mercusuar guna
menghindarkan pemisahan-pemisahan perguruan tinggi dari
persoalan-persoalan masyarakat yang aktual.
Dalam rangka mewujudkan sistem pendidikan nasional, melalui penetapan
Presiden Indonesia Nomor 19 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem
Pendidikan Nasional Pancasila, antara lain dirumuskan kembali mengenai
dasar asas pendidikan nasional, tujuan, isi moral, dan politik
pendidikan nasional. Hal yang menarik di dalam rumusan-rumusan
tersebut adalah diteggaskan sekali lagi bahwa tugas pendidikan
nasional dalam revolusi Indonesia ialah menghimpun kekuatan progresif
revolusioner berporoskan Nasakom.
Antara tahun 1953 dan 1960, jumlah anak yang memasuki sekolah dasar
meningkat dari 1,7 juta menjadi 2,5 juta orang. Akan tetapi, sekitar
60% dari jumlah itu keluar sebelum tamat. Sekolah-sekolah lanjutan
negeri dan swasta (Kebanyakan sekolah agama) dan lembaga-lembaga
tingkat universitas bermunculan dimana-mana. Akan tetapi, terutama di
Jawa, banyak yang mencapai standar tinggi. Dua keuntungan penting
perluasan pendidikan ini segera tampak nyata. Pada 1930, jumlah orang
dewasa yang melek huruf adalah 7,4%. Jumlah tersebut terdiri dari
anak-anak di atas usia 10 tahun (56,6% di Sumatra dan 45,5% di Jawa).
1. Posisi Siswa sebagai Subjek dalam Kurikulum Orde Lama
Jika kita berbicara tentang kurikulum, maka sudah sepatutnya kita
membicarakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Kurikulum pada era Orde Lama dibagi manjadi 3 kurikulum di
antaranya:
1) Rentang Tahun 1945-1968
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah
dalam bahasa Belanda "leer plan" artinya rencana pelajaran. Perubahan
arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan
Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan
Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan
"Rencana Pelajaran 1947", yang baru dilaksanakan pada tahun 1950.
Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan
pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara
dan bermasyarakat.
Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi
dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan
sehari-hari. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan
pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu,
yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela negara.
2) Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut
"Rencana Pelajaran Terurai 1952". Silabus mata pelajarannya jelas
sekali, dan seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Pada masa ini
memang kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih
diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, dalam
kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru
menjadi subjek sentral dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang
menentukan apa saja yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula
yang menentukan standar-standar keberhasilan siswa dalam proses
pendidikan.
3) Kurikulum 1964
Dalam masa transisi yang singkat RIS menjadi RI tidak memungkinkan
pemerintah melaksanakan pendidikan dan pengajaran yang komprohensif
yang berlaku untuk seluruh tanah air. Belanda meninggalkan sekolah
kolonial di daerah yang dikuasai oleh pemerintah RI telah mulai
dilaksanakan sistem pendidikan pendidikan yang direncanakan akan
berlaku secara nasional dengan segala kemampuan yang terbatas.
Setelah RIS terbentuk pada bulan Desember 1949 pemerintah RIS dan
pemerintah RI yang menjadi inti dari negara kesatuan dan mempunyai
aparat relatif paling lengkap menandatangani suatu "Piagam Persetujuan
Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik
Indonesia". Piagam ini ditanda tangani oleh Perdana Menteri Republik
Indonesia Drs. Moh Hatta dan perdana menteri Republik Indonesia Dr. A
Halim pada tanggal 19 Mei 1950. Isinya adalah:
1. Menyetujui dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama
melaksanakan Negara Kesatuan sebagai penjelmaan dari pada RI
berrdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945.
2. Sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan maka undang-undang dan
pengaturan yang ada tetap berlaku akan tetapi dimana mungkin
diusahakan supaya perundang-undangan RI (dahulu) berlaku.
3. Menyetujui pembentukan suatu panitia yang bertugas kewajuban
menyelenggarakan segala persetujuan untuk menyelesaikan
kesukaran-kesukaran diperbagai lapangan dalam waktu
sesingkat-singkatnya.
Atas dasar piagam ini ada kaitan khusus dengan penyelenggraan
pendidikan dan pengajaran Kementerian Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan RIS dan Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI
mengadakan "pengumuman Bersama pada tanggal 30 Juni 1950 yang
bertujuan untuk sementara tahun ajaran 1950/1951 sistem pengajaran
yang berlaku dalam RI dahului berlaku untuk seluruh Indonesia sampai
sistem itu ditinjau kembali. Adapun isi pengumuman sementara tersebut
adalah:
1. Mengenai Susunan Sekolah-Sekolah Negeri:
1) Mengenai Sekolah-Sekolah Partikelir
o Pemerintah mengenal warganegara dan orang asing.
o Bagi semua warganegara diselenggarakan pendidikan sekolah Negeri
menurut undang-undang dengan memperhatikan sepantasnya
kepentingan-kepentingan khusus mereka antara lain yang mengenal bahasa
rumah.
o Bagi orang asing tidak didirikan sekolah-sekolah negeri, tetapi
diberi kesempatan untuk menyelenggarakan sekolah menurut kebutuhannya.
o Sementara kemungkinan bagi sekolah-sekolah orang asing bangsa
belanda untuk memperoleh bantuan dari pemerintah berdasarkan
ketentuan: " Selama 2 tahun sesudah 27-12-1949 setidak-tidaknya kepada
Sekolah Rendah diberi bantuan berupa tenaga guru sebanyak-banyaknya
seperdua dari formasi guru sekolah yang bersangkutan menurut ukuran
yang berlaku untuk sekolah-sekolah rendah negeri.
o Sekolah-sekolah partikelir yang mengikuti rencana pelajaran
pemerintah dapat diberi subsidi menurut peraturan negeri untuk
pemberian subsidi kepada sekolah partikelir.
o Semua sekolah partikelir harus memberikan Bahasa Indonesia
sekurang-kurangnya sebagai mata pelajaran.
o Pemerintah mengawasi semua sekolah partikelir.
2. Organisasi dan Administrasi Pendidikan.
Pemerintah negara kesatuan menugaskan Kementerian Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) sebagai organisasi yang
meneyelenggarakan administrasi pendidikan dan pengajaran di seluruh
tanah air. Adapun yang menjadi tugas utama dari kementerian PP dan K
adalah :
• Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah dari
tingkat yang paling rendah (Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar) sampai
kependidikan Tinggi (Perguruan Tinggi). Mengenai pendidikan Tanam
kanak-kanak, kementerian hanya memberikan bantuan terbatas pada
apersonalia tenaga pengajar dan alat-alat pelajaran sedangkan untuk
pendidikan Luar Biasa menjadi langsung tanggung jawab pemerintah.
• Meneyelenggarakan pendidikan dan pengajaran di luar sekolah bagi
orang-orang dewasa.
• Memelihara dan mengembangkan kebudayaan bangsa sebagai dasar
pendidikan di dalam dan di luar sekolah.
Atas dasar tugas-tugas itu maka berdasarkan surat keputusan
kementerian PP dan K nomor 4223/kab. Tanggal 15 Februari 1951 dan
berlaku surut mulai 1 Oktober 1950 dibentuklah jawatan pengajaran yang
menangani pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah, Jawatan
pendidikan mayarakat untuk orang-orang dewasa dan jawatan yang
bertugas selain memelihara dan mengembangkan kebudayaan juga
memelihara peninggalan-peninggalan sejarah. Jawatan perlengkapan yang
menyediakan perlengkapan pendidikan dan pengajaran. Selain itu
dibentuk Biro Perguruan Tinggi dan biro Hubungan Luar Negeri dalam
rangka kerjasama dengan UNESCO: Balai penyelidikan dan perancang
pendidikan dan pengajaran (BP4) untuk penelitian, majelis ilmu
pengetahuan Indonesia (MIPI) kemudian menjadi LIPI yang bertugas
melakukan penelitian pada umumnya.
3. Perubahan Sekolah-sekolah
Setelah RIS kembali kenegara kesatuan RI, jawatan inspeksi pengajaran
kementerian PP dan K di Yogyakarta pada tanggal 25 Agustur 1950
mengeluarkan kepputusan mengenai perubahan sekolah-sekolah yang
dilaksanakan di daerah-daerah RI. sejak tahun ajaran 1949/1950.
Sekolah-sekolah dibagi-bagi atas enam kelompok: model-model sekoah
yang berasal dari masa sebelum kembali kenegara kesatuan di
bekas-bekas daerah-daerah federal atau pendudukan Belanda yang pada
dasarnya menurut model kolonial diubah dan disesuaikan dengan sistem
pendidikan dan pengajaran nasional. Adapun ketentuannya adalah sebagai
berikut:
1) Sekolah Rakyat
a. Sekolah Rakyat Negeri
 Semua S.R negeri harus menjadi sekolah luar biasa dengan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar.
 Kelas-kelas pemulihan dibuka untuk murid-murid SR yang tadinya
memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar:
 Kelas-kelas pemulihan ini boleh memakai bahas Belanda sebagai bahasa
pengantar dengan keterangan bahwa secepat mungkin harus dialihkan ke
bahasa Indonesia.
 Di kota-kota besar seperti kelas-kelas pemulihan mungkin menjadi
sekolah yang berdiri sendiri.
b. Sekolat rakyat Partikulir
 Bersubsidi
- Bahasa pengantar bahasa Indonesia
- Harus memakai rencana pelajaran SR Negeri dan boleh menembah
pelajaran lain dengan persetujuan kemeterian PP dan K.
 Tak bersubsidi
- Bahas pengantar sesukannya
- Bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang diwajibkan
- Hak pengawas ada pada pemerintah.
 Istimewa
- Bahasa pengantar adalah bahasa Belanda
- Untuk anak-anak warga negara Belanda yang bekerja pada pemerintah Indonesia.
- Tunjangan guru dari pemerintah berdasarkan jumlah murid.
- Boleh menerima anak-anak warga negara asing.
2. Pendidikan Islam
Pada tingkat pendidikan dasar Madrasah Ibtidayah enam tahun yang
merupakan bentuk formal lembaga pendidikan dasar yang diintrodusir
Departemen Agama. Pada tahun 1959 dibentuk Madrasah Tsanawiyah tiga
tahun, dan pada 1966 mulai dibuka pendidikan khusus perempuan dengan
menawarkan model pendidikan Muallimat dengan jenjang pendidikan enam
tahun.
Pada tahun 1953, Departemen Agama memulai proyek Mainstreaming mata
pelajaran umum di Madrasah. Ini ditandai dengan pembukaan Madrasah
Menengah Pertama (MMP) pada tahun 1956, dan Madrasah Menengah Atas
(MMA) pada tahun 1959. Disebut berbeda dengan Madrasah Ibtidayah dan
Madrasah Tsanawiyah yang telah ada sebelumnya karena komposisi
kurikulum MMP dan MMA ini adalah 60% pelajaran agama dan 40% pelajaran
umum.
Nahdalatul Wathan (NW) Lombok, NTB memberikan sebuah proses berbeda.
NW merupakan organisasi Islam yang memberikan kontribusi penting
terhadap perkembangan pendidikan Islam. Sejak masa-masa awal
perkembangannya NW menerapkan pola pendidikan yang berjenjang. Sistem
pendidikan NW dibagi ke dalam tiga tingkat : pertama, tingkat
Iljamiyah, yaitu tingkat pendahuluan atau persiapan. Tingkat ini
biasanya diperuntukkan bagi anak-anak. Lama belajar dalam tingkat ini
adalah setahun. Kedua, tingkat Tahdliriyah, tingkat ini merupakan
lanjutan dari Iljamiyah karena itu anak-anak yang belajar adalah
mereka yang telah belajar ditingkat Iljamiyah atau yang telah lulus
dari sekolah formal setingkat SD. Lama belajar sekolah ini adalah 3
tahun. Ketiga, tingkat Ibtida'yyah, murid-murid yang diterima
ditingkat ini adalah mereka yang lulus dari tingkat sebelumnya, dengan
lama pendidikan 4 tahun. Sejak 1955/1956 dibuka Madrasah Muballighin
dan Mubalilighat, yang disediakan khusus untuk menggodok para calon
dai. Tidak hanya itu, madrasah mualimin dan muallimat, yang tadinya
hanya empat tahun ditingkatkan menjadi enam tahun masa belajar. PGA
yang tadinya empat tahun juga dikembangkan menjadi PGAL (lanjutan).

Daftar Pustaka
Sumber Buku :
Kartono, Kartini. 1997. Tujuan Pendidikan Holistik Mengenai Tujuan
Pendidikan Nasional.
Jakarta :PT Pradya Paramita.
Moestoko, Somarsono. 1986. Sejarah Pendidikan dari Zaman Kezaman.
Jakarta : Balai Pustaka.
Nizar, Samsul. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta :PT
Serambi Ilmu Semesta.
Rifa'i, Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik
hingga Modern.
Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Syamsuddin, Helius. 1993. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman
Kemerdekaan (1945
1966). Jakarta : Depdikbud.
Tim Kursus Kader Katolik. 1971. Sedjarah Geredja Katolik di Indonesia. Jakarta :
Sekretariat Nasional K.M/C.L.C.
Yamin, Moh. 2009. Menggugat Pendidikan Indonesia. Yogyakarta :Ar-Ruzz Media.
Sumber Internet :
Artantio. 2012. Pendidikan awal kemerdekaan dan orde lama (Online)
http://historyvitae.wordpress.com/2012/10/11/pendidikan-awal-kemerdekaan-dan
orde-lama/
(diakses 7 April 2013 pukul 20.21 WITA)

Notes:
tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Indonesia
Oleh: Kelompok III
Nurul Fauza A1A110038
Ikrimah Laily A1A110030
Rahmiaty A1A110015
Mona Nisa A1A110036
M. Hipji Rahmani A1A110034
A. Ridho Hafizi A1A110023

Jejaring Sosial Sebagai Media Promosi Usaha Di Era Globalisasi


Ikrimah Laily
A1A110030

Jejaring sosial merupakan salah satu bagian dari media sosial. Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi media tersebut. Media sosial meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.
Dibandingkan dengan media massa, media sosial memiliki ciri-ciri tersendiri yang membendakannya dengan media massa. Ciri-ciri media sosial tersebut yaitu, pertama pesan yang disampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa keberbagai banyak orang. Kedua pesan yang disampaikan bebas, tanpaharus melalui suatu gatekeeper. Keempat pesan yang disampaikan cenderung lebih cepat di banding media lainnya dan yang kelima penerima pesan yang menentukan waktu interaksi.
Situs jejaring sosial adalah aplikasi yang mengizinkan user untuk dapat terhubung dengan cara membuat informasi pribadi sehingga dapat terhubung dengan orang lain. Pada situs jejaring sosial setiap orang bisa membuat web page pribadi, kemudian terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Salah satu contoh situs jejaring sosial adalah facebook.
Perkembangan situs jejaring sosial dapat dilihat dari tahun 1978, diman merupakan awal dari penemuan sistem papan buletin yang memungkinkan untuk dapat berhubungan dengan orang lain menggunakan surat elektronik, ataupun mengunggah dan mengunduh perangkat lunak. Semua ini dilakukan masih dengan menggunakan saluran telepon yang terhubung dengan modem. Kemudian pada tahun 1997 muncul situs jejaring sosial pertama yaitu sixdegree.com walaupun sebenarnya pada tahun 1995 terdapat situs classmates.com yang juga merupakan situs jejaring sosial. Namun sixdegree.com di anggap lebih menawarkan situs jejarinf sosial dibandingkan classmates.com
Pada tahun 2002 dimana berdirinya friendster, situs jejaring sosial yang pada saat itu menjadi booming, dan keberadaan sebuah media sosial menjadi fenomenal. Lalu pada tahun 2004 lahirnya facebook, situs jejaring sosial yang terkenal hingga sampai saat ini, merupakan salah satu situs jejaring sosial yang memiliki anggota terbanyak di tahun 2006 lahirnya twitter, situs jejaring sosial yang berbeda dengan yang lainnya, karena pengguna dari twitter hanya bisa mengupdate status atau yang bernama tweet ini hanya di batasi 140 karakter.
Globalisasi secara intensif terjadi pada awal abad XX yang ditandai dengan berkembangnya teknologi informasi. Menurut John Huckle dalam Miriam Steiner (1996) globalosasi adalah Suatu proses dengan mana kejadian, keputusan dan kegiatan di salah satu bagian dunia menjadi suatu konsekuensi yang signifikan bagi individu dan masyarakat di daerah yang jauh. Ciri utama di era globalisasi adalah adanya keterbukaan sehingga batas-batas negara atau wilayah menjadi buram, sehingga ada ketergantungan antar negara atau wilayah. Hal ini karena adanya keterbukaan informasi dan kuatnya komunikasi.
Di abad XXI ini, globalisasi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Dengan berbagai jenis jejaring sosial, setiap orang dapat dengan mudah mengakses informasi dan berkomunikasi dengan orang dari berbagai belahan dunia lainnya. Salah satu sebab menjamurnya pengguna jejaring sosial adalah mudahnya media untuk mengakses jejaring sosial tersebut. dengan kecanggihan teknologi sekarang ini, hanya dengan mobile phone, seseorang dapat terhubung ke berbagai jejaring sosial tanpa biaya yang tinggi. Keunggulan lainnya dari jejaring sosial adalah penggunanya dapat dengan bebas mengedit, menambahkan, momodifikasi baik berupa tulisan, gambar, video, grafis dan berbagai medol content lainnya.
Jejaring sosial seperti sudah menjadi bagian dari kehidupan seseorang dewasa ini. Pengguna jejaring sosial datang dari berbagai lapisan umur, dari anak-anak hingga dewasa. Penggunanya juga datang dari berbagai kalangan profesi, dari orang biasa, pelajar, pendidik, pengusaha, pegawai, bahkan presiden pun menjadi salah satu pengguna jejaring sosial.
Kemudahan dalam mengakses dan banyaknya pengguna jejaring sosial ini, menjadi salah satu faktor dimanfaatkannya jejaring sosial sebagai salah satu media promosi usaha di era globalisasi ini. Promosi usaha sangat penting dilakukan oleh seorang pengusaha atau wirausahawan dalam memperkenalkan usahanya. Promosi merupakan salah satu faktor penting dalam kesuksesan sebuah kegiatan usaha.
Dalam kegiatan promosi,wirausahawan memperkenalkan atau mendemonsrasikan bagaimana hasil usahanya pada masyarakat. Diharapkan masyarakat tahu akan usaha yang dijalankan wirausahawan tersebut dan menjadi pengguna barang atau jasa yang ditawarkannya. Dalam promosi itulah masyarakat dapat mengenal dan memilih mana barang ataupun jasa yang benar-benar diperlukan dan diinginkannya.
Di era globalisasi ini, media promosi usaha juga berkembang. Jika dulunya promosi usaha dilakukan melalui media massa, maka sekarang promosi usaha juga dapat dilakukan dengan media sosial. Salah satu media sosial yang dapat menjadi media usaha adalah jejaring sosial. Kini, para pengusaha atau wirausahawan dapat mempromosikan usahanya dengan jalan lebih mudah dan praktis melalui jejaring sosial. Cukup dengan memposting atau menuliskan tentang usahanya pada web page sebuah jejaring sosial kemudian membagikannya dengan teman-teman dan pengguna jejaring sosial lainnya.
Jejaring sosial yang memungkinkan interaksi antar pengguna sehingga terjadi komunikasi, juga merupakan keunggulan tersendiri jika dilakukan promosi usaha. Misalnya saja, seorang pengusaha mempromosikan usahanya dibidang jual beli barang di jejaring sosial (yang sekarang dikenal dengan online shop) maka dia dapat beinteraksi langsung dengan calon pelanggannya. Pelanggan dapat bertanya langsung tentang barang yang akan dibeli atau dijualnnya. Dengan adanya komunikasi dua arah ini, pelanggan cenderung lebih puas dalam bertransaksi dibandingkan dengan hanya dapat melihat iklan atau promo tanpa dapat bertanya atau berkomentar tentang barang tersebut.
Keunggulan lainnya dari penggunaan jejaring sosial sebagai media promosi usaha adalah setiap orang yang merupakan pengguna jejaring sosial dapat mempromosikan usahanya, walaupun dia bukan seorang pengusaha besar. Seorang pemula atau orang yang baru merintis usahanya dapat dengan mudah mempromosikan usahanya di situs jejaring sosial, tanpa modal yang besar. Misalnya saja usaha handmade yang sekarang sedang naik daun, atau usaha rumahan lainnya. Dapat mempromosikan usahanya dengan memasang foto semenarik mungkin beserta informasi lainnya pada sitis jejaring sosial dan berbagi dengan pengguna jejaring sosial lainnya. Hal ini tentu saja mendorong majunya usaha orang tersebut, karena seperti dikatakan diatas, promosi merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan wirausaha.
Namun, dibalik segala keunggulan penggunaan jejaring sosial sebagai media promosi usaha, juga terdapat kelemahan. Penggunaan jejaring sosial yang sangat bergantung pada jaringan internet, akan membatasi ruang promosi. Pengguna jejaring sosial hanya dapat mengakses jika terhubung dengan internet, ini berarti jika tidak ada jaringan atau sedang terputus dengan jaringan internet maka tidak akan ada interaksi dengan jejaring sosial. Selain itu, penipuan juga rentan terjadi, baik terhadap pengguna jasa usaha maupun orang yang mempromosikan usahanya di jejaring sosial.

Sumber:
Wikipedia. Jejaring Sosial. Diakses dari http://id.wikipedia.org
________. Globalisasi. Diakses dari http://id.wikipedia.org
________. Media Sosial. Diakses dari http://id.wikipedia.org
Handout dari Safitri Yosita Ratri (online)

Subjektivitas dalam Interpretasi Sejarah



A.    Pengertian Interpretasi Dalam Metode Sejarah
Secara harfiah, interpretasi berarti pemberian kesan, pendapat atau pandangan teoritis terhadap sesuatu. Kata yang dapat menjadi padanan untuk interpretasi yaitu penafsiran. Jika dilihat dari definisi diatas, suatu objek yang telah jelas maknanya, maka objek tersebut tidak mengundang interpretasi. Istilah interpretasi sendiri dapat merujuk proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasil dari proses penafsiran.
Dalam proses penulisan sejarah, juga dikenal istilah interpretasi. Interpretasi merupakan bagian dari metode penelitian sejarah. Metode ialah suatu cara untuk berbuat sesuatu, suatu prosedur untuk mengerjakan sesuatu. Dapat juga diartikan keteraturan dalam berbuat, atau suatu sistem yang teratur. Jadi metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau teknis yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan) yang diteliti.
Metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history as written). Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode penelitian itu disebut metode sejarah.
Metode sejarah digunakan sebagai metode penelitian, pada prinsipnya bertujuan untuk menjawab enam pertanyaan (5 W dan 1 H) yang merupakan elemen dasar penulisan sejarah, yaitu what (apa), when (kapan), where (dimana), who (siapa), why (mengapa), dan how (bagaimana). Pertanyaanpertanyaan itu konkretnya adalah: Apa (peristiwa apa) yang terjadi? Kapan terjadinya? Di mana terjadinya? Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu? Mengapa peristiwa itu terjadi? Bagaimana proses terjadinya peristiwa itu?
Pada proses penulisan sejarah sebagai kisah, pertanyaan-pertanyaan dasar itu dikembangkan sesuai dengan permasalahan yang perlu diungkap dan dibahas. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus menjadi sasaran penelitian sejarah, karena penulisan sejarah dituntut untuk menghasilkan eksplanasi (kejelasan) mengenai signifikansi (arti penting) dan makna peristiwa.
Dalam metode sejarah ada beberapa tahapan kegiatan yaitu heutistik, kritik, dan historiografi. Tahap kegiatan yang terakhir disebut adalah kegiatan penulisan sejarah (penulisan hasil penelitian sejarah), bukan kegiatan penelitian sejarah. Dalam tahap terakhir ini juga terjadi proses interpretasi, eksplanasi, dan penyajian.
Heuristik adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan. Berhasil-tidaknya pencarian sumber, pada dasarnya tergantung dari wawasan peneliti mengenai sumber yang diperlukan dan keterampilan teknis penelusuran sumber. Pada tahapan ini, peneliti sejarah mengumpulkan semua sumber yang mungkin menjadi sumber dalam penulisan sejarah. Sumber tersebut tidak hanya berupa sumber tertulis namun juga dapat berupa sumber benda atau bahkan sumber lisan.
Tahap kedua dalam metode sejarah yaitu kritik. Kritik merupakan kegiatan penyeleksian data agar diperoleh fakta yang akurat dengan penelitian yang akan dilakukan sejarawan.  Kritik terbagi dua yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal menilai kesesuaian sumber dengan penelitian yang akan dilakukan serta keaslian sumber. Sedangkan kritik internal menilai kredibilitas (dapat dipercaya) suatu sumber.
Sesuadah menyelesaikan langkah pertama dan kedua berupa heuristik dan kritik sumber, sejarawan memasuki langkah selanjutnya yaitu penulisan sejarah (historiografi). Tahap-tahap penulisan mencakup interpretasi sejarah, eksplanasi sejarah sampai kepada presentasi atau pemaparan sejarah.
Dalam penulisan sejarah, digunakan secara bersamaan tiga bentuk teknik dasar tulis menuli yaitu deskripsi, narasi dan analisis. Ketika sejarawan menulis ada dua dorongan utama yang menggerakkannya yakni mencipta ulang (re create) dan menafsirkan (interpret). Dorongan pertama menuntut deskripsi dan narasi, sedangkan dorongan kedua menuntut analisis. Sejarawan yang berorientasi pada sumber-sumber sejarah saja akan menggunakan porsi deskripsi dan narasi yang lebih banyak. Sedangkan sejarawan yang berorientasi pada problem atau masalah, selain menggunakan deskripsi dan narasi, akan lebih mengutamakan analisis. Akan tetapi apapun cara yang dipergunakan, semuanya akan bermuara pada sintesis.
Sehubungan dengan teknik deskripsi, narasi dan analisis diatas, sebenarnya sebagian besar para sejarawan dalam karya-karya mereka itu “bercerita”. Akan tetapi sejarah yang diceritakan para sejarawan itu, menurut ahli filsafat Athur C. Danto adalah “cerita-cerita yang sebenarnya”. Mereka berusaha sebaik-baiknya untuk menceritakan cerita-cerita sebenarnya menurut topik-topik atau masalah-masalah yang mereka pilih. Hanya saja teknik deskripsi-narasi ini seringkali dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah lama (old history), sedangkan teknik analisis dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah baru (new history).
Dalam interpretasi atau penafsiran sumber sejarah, terdapat beberapa bentuk yaitu:
1.      Determinisme rasial
Penafsiran sejarah berdasarkan pada faktor-faktor sifat fisik pada diri manusia (etnologis, keturunan, ras). Sejarawan beranggapan bahwa faktor sifat fisik manusia merupakan faktor pengontrol dalam sejarah manusia, sehingga dalam nenafsirkan sejarah, mereka mengutamakan faktor sifat fisik tersebut.
2.      Penafsiran geografis
Kelompok sejarawan ini melihat dari dari segi fisik sebagai pembuat sejarah dan dengan demikian mengecilkan peranan manusia. Mereka mencari kunci sejarah dalam lingkungna fisik di luar manusia, seperti faktor-faktor geografis: iklim, tanah, distribusi flora dan fauna, sumber-suber alam, bentuk tanah, dianggap sebagai pengontrol sejarah. Sejarawan beranggapan bahwa faktor-faktor geografis  di lingkungan akan berpengaruh terhadap manusia yang tinggal di lingkungan itu. Maka sejarawan menafsirkan sejarah tidak lepas dari faktor geografis tersebut.
3.      Interpretasi ekonomi
Interpretasi ekonomi diilhami oleh cara produksi (made of  production) dalam kehidupan ekonomi suatu bangsa menentukan karakter umum sejarah bangsa itu seperti pola-pola politik, sosial, agama dan kebudayaan. meskipun diakui juga adanya faktor-faktor non ekonomi dalam politik, mora, sosial, dan intelektual, tetapi semua faktor non ekonomi ini adalah hasil atau diperintah eleh faktoe ekonomi. Segala ide, pandangan politik dan lembaga, teori-teori sosial dan nilai-nilai moral, ditentukan oleh kondisi-kondisi ekonomi masyarakat itu, dalam metode memenuhi kebutuhan hidup, dalam cara produksinya. Sejarawan dalam menafsirkan sejarah akan melihat pada faktor-faktor ekonomi.
4.      Penafsiran (teori) orang besar
Para sejarawan dari kelompok Romantis berpendapat bahwa yang menjadi faktor penyebab utama dalam perkembangan sejarah adalah tokoh-tokoh orang besar (great man theory). Sejarah bagi mereka adalah biografi kolektif. Yang dimsud dengan tokoh-tokoh besar misalnya para negarawan, kaisar, raja, panglima perang, jenderal, dann para nabi.
5.      Penafsiran spritual atau idealistik
Penafsiran ini erat kaitannya dengan peran jiwa (spirit, soul), ide (cita-cita) manusia dalam perkembangan sejarah. Sejarawan beranggapan bahwa ide merupakan penggerak sejarah.
6.      Penfsiran ilmu dan teknologi
Penafsiran ini mencoba melihat kemajuan manusia mempunyai hubungan langsung dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Ilmu pengetahuan dengan penafsiran teknologinya ini pada gilirannya menentukan kehidupan dan kegiatan ekonomi manusia. Dalam penafsiran ini tentu saja tetap menjadikan manusia sebagai “pencipta” ilmu pengetahuan dan pemakai teknologi sebagai pemeran utama.
7.      Penafsiran sosiologis
Penafsiran ini mencoba melihat asal-usul, struktur dan kegiatan masyarakat dalam interaksinya dengan lingkungan fisiknya; masyarakat dan lingkungan fisik bersama-sama maju dalam suatu proses evolusi. Sosiologi (bersama-sama dengan antropologi budaya) mencoba menjelaskan pengulangan dan keseragaman dalam kausalitas sejarah.
8.      Penafsiran sintesis
Penafsiran ini mencoba menggabungkan semua faktor atau tenaga yang menjadi penggerak sejarah. Menurut penafsiran ini tidak ada satu kategori “sebab-akibat” tunggal yang cukup untuk menjelaskan semua fase dan periode perkembangan sejarah. Artinya perkembangan dan jalannya sejarah digerakkan oleh berbagai faktor dan tenaga bersama-sama dan manusia tetap sebagai pemeran utama.
Dalam sejarah lisan, metode sejarah yang digunakan sama. Berawal dari pengumpulan sumber (heuristik), kritik dan kemudian interpretasi lalu historiografi. Hanya saja sumber sejarah yang digunakan dalam sejarah lisan adalah sumber atau bukti lisan (dapat berupa tradisi lisan).
Tak jarang sejarawan menghadapi kesulitan dalam interpretasi sejarah lisan. Hal ini berkaitan dengan sumber sejarah dan juga bagaimana memperoleh sumber atau bukti sejarah tersebut. Oleh karena itu, dalam menginterpretasikan sejarah lisan, seorang peneliti sejarah harus benar-benar menguasai metode dalam sejarah lisan. Perlu peran ilu bantu agar tidak keliru dalam menafsirkan bukti lisan.
Selain itu, peneliti sejarah juga dapat menggunakan sumber atau bukti lain untuk membantu menafsirkan sumber atau bukti lisan yang ia peroleh. Sumber atau bukti tersebut bisa saja berupa sumber tertulis berupa dokumen,arsip, atau buku.

B.     Subjektivitas dalam Interpretasi Sejarah
Istilah “sejarah” berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata “syajaratun” (dibaca”syajarah), yang memiliki arti “pohon kayu”. Pengertian “pohon kayu” disini adalah adanya suatu kejadian, perkembangan/pertumbuhan tentang sesuatu hal (peristiwa) dalam suatu kesinambungan (kontinuitas). Selain itu ada pula peneliti yang menganggap bahwa arti kata “syajarah” tidak sama dengan kata “sejarah”, sebab sejarah bukan hanya bermakna sebagai “pohon keluarga” atau asal-usul atau silsilah. Walaupun demikian diakui bahwa ada hubungan antara kata “syajarah” dengan kata “sejarah”, seseorang yang mempelajari sejarah tertentu berkaitan dengan cerita, silsilah, riwayat dan asal-usul tentang seseorang atau kejadian (Sjamsuddin, 1996: 2). Dengan demikian pengertian “sejarah” yang dipahami sekarang ini dari alih bahasa Inggeris yakni “history”, yang bersumber dari bahasa Yunani Kuno “historia” (dibaca “istoria”) yang berarti “belajar dengan cara bertanya-tanya”. Kata “historia” ini diartikan sebagai pertelaan mengenai gejala-gejala (terutama hal ikhwal manusia) dalam urutan kronologis (Sjamsuddin dan Ismaun, 1996: 4).
Setelah menelusuri arti “sejarah” yang dikaitkan dengan arti kata “syajarah” dan dihubungkan dengan pula dengan kata “history”, bersumber dari kata “historia” (bahasa Yunani Kuno) dapat disimpulkan bahwa arti kata sejarah sendiri sekarang ini mempunyai makna sebagai cerita, atau kejadian yang benarbenar telah terjadi pada masa lalu. Sunnal dan Haas (1993: 278) menyebutnya; “history is a chronological study that interprets and gives meaning to events and applies systematic methods to discover the truth”. Carr (1982: 30). menyatakan, bahwa “history is a continous process of interaction between the historian and his facts, and unending dialogue between the present and the past”. Kemudian disusul oleh Depdiknas memberikan pengertian sejarah sebagai mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini (Depdiknas, 2003: 1). Namun yang jelas kata kuncinya bahwa sejarah merupakan suatu penggambaran ataupun rekonstruksi peristiwa, kisah, mapun cerita, yang benar-benar telah terjadi pada masa lalu.
Dari definisi diatas menunjukkan dengan tegas bahwa yang disebut sejarah ada tiga hal, yaitu:
1.      Kejadian-kejadian peristiwa seluruhnya yang berhubungan nyata dengan yang nyata di damalam manusia sekitar kita
2.      Cerita yang tersusun secara sistematis (serba teratur rapi) dari kejadian dan peristiwa umun
3.      Yaitu ilmu (science, wetenschap) yang bertugas menyelidiki perkembangan negara-negara, peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian masa lampau.
Prof. Sartono Kartodirjo membagi sejarah dalam dua pengertian, yaitu sejarah dalam arti subjektif dan sejarah dalam arti objektif.
Sejarah dalam arti subjektif adalah konstruk, ialah bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Uraian atau cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah, baik proses maupun struktur. Kesatuan itu menunjukkan koherensi, artinya pelbgai unsur bertalian satu sama lain dan merupakan satu kesatuan. Fungsi unsur-unsur itu saling menopang dan saling tergantung satu sama lain
Sejarah dalam arti objektif menunjukkkan kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, ialah proses sejarah dalam aktualitasnya. Kejadian ini sekali terjadi dan tidak dapat terulang kembali. Bagi orang yang ada kesempatan mengalami suatu kejadian sebenarnya hanya dapat mengamati dan mengikuti sebagian dari totalitas kejadian atau peristiwa itu. Keseluruhan proses itu berlangsung terlepas dari subjek manapun juga. Jadi objektif dalam arti tidak memuat unsur-unsur subjek (pengarang atau pengamat). Dalam ucapan “sejarah berulang” rupanya yang dimaksudkan adalah sejarah dalam arti objektif, sedangkan ucapan “kita perlu belajar dari sejarah” akan lebih menunjukkan sejarah dalam arti subjektif.
Ilmu sejarah merupakan dasar semua disiplin ilmu yang termasuk dalam kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sejarah juga merupakan dasar kajian filsafat, ilmu politik, ilmu ekonomi, seni juga agama/ religi. Sejarah adalah ilmu tentang manusia. Sejarah berkaitan dengan ilmu hanya apabila sejarah mengkaji tentang kerja keras manusia dan pencapaiannya. Sejarah mengkaji perjuangan manusia sepanjang zaman. Sejarah kemudian menyajikan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia dalam konteks sosial yang sesuai, dan menyajikan gagasan-gagasannya dalam konteks manusia.
Dalam kajian sejarah, tidak lepas dari lingkup waktu dan ruang. Waktu merupakan unsur esensial dalam sejarah. Sejarah berkaitan dengan rangkaian peristiwa, dan setiap peristiwa terjadi dalam lingkup waktu tertentu. Dengan demikian, waktu dalam sejarah melahirkan perspektif tentang berbagai peristiwa yang terjadi dan sekaligus sesuatu yang secara menonjol mampu memperindah masa lampau. Sejarah umat manusia sesungguhnya merupakan proses perkembangan manusia dalam lingkup waktu.
Sejarah juga mengkaji manusia dalam dalam lingkup ruang. Baik sebagai individu maupun bangsa, manusia dipelajari dalam konteks lingkungan fisik dan geografis. Interaksi antara manusia dan lingkungan alam berlangsung secara dinamis. Interaksi ini menghasilkan variasi perkembangan pada aktivitas manusia dan pencapaiannya dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Cerita-cerita tentang perubahan dan sebagainya serta ilmu yang menyelidiki perubahan tersebut itu pada dasarnya merupakan kegiatan manusia. Manusia menyelidiki kenyataan kemanusiaan yang terus berubah. Hasil peyelidikan itu olehnya diolah dihimpun dalam sebuah cerita. Sejarah sebagai ilmu dan sejarah sebagai cerita adalah ciptaan manusia dan bukan sesuatu yang timbula atau terjadi diluar usaha manusia. Manusia sebagai subjek atau pemegang peranan dalam membuat ilmu dan cerita. Dengan demikian ilmu sejarah dan cerita sejarah disebut sejarah serba subjek, artinya hasil perbuatan manusia.
Masalah subjektivitas dan atau objektivitas sejarah merupakan debat lama yang tidak pernah selesai. Pertanyaan apakan sejarah dapat objjektif? Sebenarnya bukan hanya sejarah saja tetapi juga disipli kognitif lain tidak dapat objketif jika yang dimaksud objektif itu tuntutan seperti: kebenaran mutlak, sesuai dengan kenyataan termasuk juga yang tersembunyi, netralisasi mutlak (tidak memihak, tidak terikat) dan kondisi-kondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa atau menuntut penempatan seluruh peristiwa kedalam hukum-hukum yang berlaku umum
Sejarah sebagaimana dipahami sejarawan bukanlah masa lalu melainkan catatan dan atau ingatan mengenai masa lalu. oleh sebab itu jika tidak ada catatan atau ingatan maka tidak ada sejarah.sebagai catatan dan atau ingatan, tentu ada orang yang mencatat dan mengingat, dan sebagai manusia ia (mereka) mempunyai pandangan-pandangan, mempunyai prasangka-prasangka yang yang memasuki catatan dan ingatan itu dan memberi warna tertentu kepadanya yang disebut memihak (bias). Dari sini saja si pencatat atau si pengingat sudah subjektif.
Ada beberapa hal yang menyebabkan subjektivitas dalam penulisan sejarah, yaitu
1.      Pemihakan pribadi (personal bias)
Persoalan suka atau tidak suka pribadi terhadap individu-individu atau golongan dari seseorang. Biasanya terjadi pada penulisan sejarah dalam bentuk biografi, memoar, atau otobiografi.
2.      Prasangka kelompok
Disini menyangkut keanggotaan sejarawan dalam suatu kelompok apakah itu bangsa, ras, kolompok sosial, atau agama tertentu.
3.      Teori-teori bertentangan tentang penafsiran sejarah
Penafsiran sejarah berdasarkan teori penggerak sejarah yang dianut sejarawan. Berbagai teori itu kadang bertentangan satu sama lain sehingga muncul subjektivitas
4.      Konflik-konflik filsafat yang mendasar
Konflik-konflik filsafat yang mendasar diperlukan dalam menangani kasus yang ada kaitannya dengan kepercayaan moral. Secara teoritis seseorang yang menganut filsafat hidup tertentu, paham, kepercayaan, atau agama tertentu akan menulis sejarah berdasarkan pandangannya itu.
Menurut Arthur Marwick dalam the nature of history, langkah-langkah metodologis yang dikerjakan para sejarawan pada umumnya diterima sebagai langkah yang memiliki validitas subjektivitas ilmu, barulah dalam tahap historiografi (tahap akhir) ini disebut art atau seni sehingga sejarah sesungguhnya tidak mungkin objektif. Padahal sejarah sebagai sebuah ilmu dituntut memiliki objektivitas. Sejarah dianggap tidak mungkin objektif karena sudah memakai interpretasi dan interpretasi. Bahkan dikatakan interpretasi itu adalah sejarah menurut paham seseorang. Interpretasi dapat berarti sejarah menurut pendapat seseorang dan seleksinya dilakukan dalam memilih fakta-fakta sejarah yang akan dikaji dalam sebuah penelitian dengan metode sejarah. Interpretasi dan seleksi mau tidak mau harus melibatkan pendirian pribadi peneliti.
Fakta sejarah sebagai kebutuhan dasar historiografi harus diolah lebih dulu oleh peneliti sejarah dari data-data sejarah. Dalam hal ini E.H Carr dalam bukunya what is history, mengungkapkan bahwa fakta sejarah tidak mungkin dapat objektif karena fakta sejarah itu diberi arti oleh peneliti sejarah.
Maka dalam historiografi, subjektivitas tidak dapat dielakkan. Bukan hanya itu, penyusunan periodesasi sejarah yang masuk dalam proses interpretasi juga tak dapat menghindar dari subjektivitas.
Pendapat nugroho notosusanto dalam artikelnya hakikat subjektivitas objektivitas sejarah yang dimuat di kompas, 23 september 1974 mengungkapkan “dalam tahap analitis daripada metode sejarah ada kemungkinan bahwa kita dapat menjumpai objektivitas sejarah, yakni dengan adanya sumber-sumber yang keras yang punya eksistensi diluar pikiran manusia. Tetapi dalam tahap sintesis, khususnya dalam kegiatan yang disebut interpretasi, seorang sejarawan adalah subjektif”. Memang fakta membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan pribadi sejarawan, hingga seorang Benedetto Croce berteori “semua sejarah adalah masa kini.” Yaitu sesuai dengan alam pikiran dan zaman pengarang hidup.
Berkenaan dengan masalah subjektivitas dan objektivitas, subjektivitas dalam penulisan adalah “halal” karena tanpa subjektifitas maka tidak akan pernah ada objektivitas. Disini harus dibedakan antara subjektivitas dan subjektivisme, yang tidak diperbolehkan mempengaruhi sebuah tulisan sejarah adalah adanya unsur subjektivisme bukan subjektivitas. Dalam konsep subjektivitas, objek tidak dinilai sebagaiman harusnya, namun dipandang sebagai kreasi, konstruksi akal budi. Berpikir disamakan dengan menciptakan, bukan membantu kebenaran keluar dari persembunyiannya. Subjektivisme adalah kesewenangan subjek dalam mengadakan seleksi, interpretasi, dalam menyusun periodesasi, namun kesewenangan tersebut tidak bertumpu pada dasar yang dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan subjektivitas sangat erat hubungannya dengan kejujuran hati dan kejujuran intelektual.

Daftar Pustaka
Ali, R Moh. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: LLKis Yogyakarta
Daliman, A.. 2012. Metode Penelitian Sejarah.. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Poesporodjo. 1987. Subjektivitas dalam Historiografi. Dibaca dari Google book
Pranoto, Suhartono W.  2010. Teori & Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sjamsuddin, Helius. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Thompson, Paul. 2012. Teori dan Metode Sejarah Lisan. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Wikipedia. Interpretaasi . Diambil dari http://id.wikipedia.org

Mengintip Hulu Sungai Selatan Masa Praaksara (sebuah catatan di hari ulang tahun)

Jreng jreng jrengggg… Syelamath Ulang Tahun kabupaten ku yang manis dan indah, Hulu Sungai Selatan.. Roma atau Paris, indah Kandang...