Inilah Borneo ku (?)


Jum’at, 1 Juni 2012, bertepatan dengan hari lahirnya pancasila

Syukurlah, perkuliahan untuk semester ini akhirnya usai. Perkuliahan diakhiri pagi ini dengan kuliah Sejarah Australia Oceania yang diasuh oleh eyang-panggilan sayang kami untuk beliau-. Sebenarnya ini hanya kuliah tambahan karena beliau tiga kali tidak memberi kuliah. Harusnya pada hari rabu lalu perkuliahan telah usai. Tapi tak apa lah, toh cuma sekali dan waktu liburan masih panjang.
 Hari ini juga selepas shalat jum’at aku merencanakan untuk pulang ke kota kelahiranku. Sepulang dari kampus aku langsung berkemas. Cukup banyak barang yang akan aku bawa. Ini karena ada issue tanggal 3 ini kami aka berangkat PKL ke daerah Kalimantan Timur. Aku merencanakan berangkat PKL dari rumah saja. Karena itu ada banyak barang yang harus aku persiapkan.
Sekitar jam 14.00 WITA, aku mulai meninggalkan  Banjarmasin. Rute yang kupilih kali ini melewati mesjid Sabilalmuhtadin. Sebuah mesjid yang berdiri pada sekitar tahun 1974, di daerah yang dulunya bernama pulau Tatas. Di pulau ini dahulu berdiri Benteng Tatas atau Fort Tatas, yang merupakan benteng Belanda di pusat kota Banjarmasin. Pada sekitar pertengahan abad 18 (tahun 1756) benteng ini merupakan pusat pertahanan Belanda di Kalimantan Selatan, sebagai pusat kegiatan untuk meluaskan kekuasaan Belanda di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Perjalananku terus berlanjut dengan berbagai nostalgia peristiwa sejarah yang berkelebat di kepalaku. Saat melintasi lapangan Cahaya Bumi Selamat di Martapura, aku teringat dengan sebuah buku dari bapak Idwar Saleh yang pernah ku baca. Disana ada sebuah lukisan yang menggambarkan Keraton Kerajaan Banjar Bumi Selamat yang terletak di Martapura. Keraton itu dilengkapi juga dengan alun-alun. Lalu apakah lapangan ini merupakan alun-alun keraton Banjar dulu? Mungkin saja iya.
Martapura telah ku lalui. Aku pun melintasi Danau Salak, Mataraman, dan Pengaron. Kini aku memasuki kabupaten Tapin. Aku pun terperanjat ketika di daerah Binuang, mungkin sekitar pulau pinang, aku melintasi pembangunan sebuah jalan layang baru. Terakhir aku pulang ke Kandangan pada awal April lalu, pembangunan ini belum ada. Karena pembangunan ini jalanan umum terpaksa dialihkan. Ini sedikit mengganggu lancarnya arus lalu lintas.
Sebenarnya bukan macet yang ku risaukan. Lebih parah dari itu. Jalanan yang nantinya penuh debu tentulah akan menjadi masalah tersendiri bagi pengguna jalan seperti ku, yang menggunakan motor bolak balik Kandangan-Banjarmasin. Belum lagi masyarakat sekitar, pastilah akan terganggu dengan debu yang beteerbangan. Kondisi jalan disekitarnya juga akan terpengaruh. Biasanya jalan aspal disekitar pembangunan itu akan bermasalah, mulai dari bergelombang sampai berlobang. Apalagi jika setelah hujan, jalanan akan licin dan becek.
Ini hanya sebagian kecil dampak pembangunan jalan khusus bagi pengangkutan batu bara. Lalu dampak pertambangan batu bara sendiri, labih parah dari itu. Pertambangan batu bara umumnya terletak di daerah pegunungan meratus yang berupa hutan, lalu karena di buka pertambangan maka hutan pun dibabat. Akibatnya sudah dapat ditebak. Banjir mengancam Kalimantan Selatan. Air bersih juga mulai langka diberbagai daerah yang merupakan daerah aliran sungai dimana daerah hulu sungainya terdapat pertambangan batu bara.
Batu bara di bagian selatan pulau Borneo -sebutan lain untuk pulau Kalimantan- ini memang mempunyai sejarah yang panjang. Pulau Borneo sendiri merupaka pulau yang tua. Hal ini dilihat dari struktur bebatuan yang membentuk pulau ini. Sejak sekitar 8000 tahun sebelum masehi, pulau ini telah dihuni manusia. Saat itu terjadi migrasi pertama dari ras Ausrolomelanisia yang mendiami gua-gua di pegunungan meratus. Lalu sekitar tahun 2500 sebelum masehi terjadi lagi migrasi yang kedua oleh bangsa Austronesia dari pulau Formosa. Mereka inilah yang diyakini sebagai nenek moyang suku Dayak.
Sebagai sebuah pulau yang tua dan sejak zaman pra sejarah sudah dihuni manusia. Wajar jika pulau ini kaya barang tambang, salah satunya batu bara (salah duanya minyak, salah tiganya intan, salah empatnya bijih besi, salah lainnya selidiki sendiri). Pada masa kerajaan Banjar, sekitar abad16-17, sudah terdapat pertambangan batu bara secara tradisional yang diusahakan oleh rakyat.
Abad ke-19 yang merupakan abad kolonialisme dan imperialisme modern sebagai dampak dari revolusi industri. Berbagai teknologi berkembang pesat setelah ditemukan teknologi baru seperti mesin uap, kapal api, kereta api dan pabrik-pabrik yang menggunakan mesin uap. Ini merupakan roda penggerak percepatan perubahan wajah dunia.
Sebagian kapal-kapal belanda yang berlayar ke Indonesia atau berlayar dalam wilayah Indonesia (kontingental) saja, baik kapal dagang maupun kapal perang memerlukan batu bara sebagai bahan bakar mesin uapnya. Di eropa sendiri juga ada batu bara, namun jika harus mengimpor dari Belanda memerlukan biaya yang sangat mahal.
Kemudian Belanda mengetahui bahwa di wilayah kerajaan Banjar terdapat Batu Bara. Kerajaan Banjar sendiri sejak tahun 1787 merupakan tanah pinjaman VOC kepada raja-raja. Pemerintah hindia belanda pun meminta ijin pada kerajaan Banjar untuk membuka pertambangan Batu Bara. Namun, setelah dipaksa ijin baru didapatkan pada tahun 1846.
Akhirnya, pada tahun 1849 berdirilah tambang batu bara komersil pertama di wilayah Hindia Belanda. Tambang bernama Oranje Nassau di daerah pengaron ini secara resmi dibuka oleh Gubernur Jenderal Ruchussen pada tanggal 21 September 1849. Pada 28 April 1859, benteng ini diserang oleh Pangeran Antasari dan pasukan Baua Ampat. Penyerangan ini menandai pecahnya Perang Banjar.
Lalu bagaimana keadaan Batu Bara pada abad ke 21 sekarang ini? Seperti dapat anda lihat, pertambangan kian marak. Apa lagi di daerah Kabupaten Tapin, Tabalong, balangan, Tanah Bumbu, Tanah laut, juga Kota Baru. Walau sebenarnya hampir di setiap wilayah di Kalimantan Selatan ini mengandung potensi batu bara, hanya saja belum dieksploitasi.
Kapan batu bara di borneo ini habis? Mungkin sebelum batu baranya habis, pulau ini telah tenggelam, jika pertambangan terus dilakukan tanpa ada reklamasi. 
Tak terasa, kota Kandangan sudah didepan mata. Katupat yang menjadi icon kota ini sudah terlihat. Artinya  dalam sepuluh menit lagi aku sudah tiba di rumah, bertemu dengan Mama, Abah, dan Ading.
Alhamdulillah, kembali ku ucap syukur atas perlindunganMu selama di perjalanan.

Mengintip Hulu Sungai Selatan Masa Praaksara (sebuah catatan di hari ulang tahun)

Jreng jreng jrengggg… Syelamath Ulang Tahun kabupaten ku yang manis dan indah, Hulu Sungai Selatan.. Roma atau Paris, indah Kandang...