Ini merupakan rangkaian ceritera
dari “liburan singkat” aku di lima kota di pulau jawa akhir Juli lalu. Pada
part ini, ku ceritakan tentang petualangan ku di Ibu kota negara Indonesia
tercinta, Jakarta. Ga semua sih, ini sekelumit ceritaku di Kota Tua Jakarta,
tepatnya di Museum Wayang.
Cerita tentang kota tua dulu deh,
dikit. Menurut mbak wikipedia sejarah kota tua berawal pada tahun 1526. Saat
itu Fatahillah, dikirim oleh Kesultanan Demak, menyerang pelabuhan Sunda Kelapa
di kerajaan Hindu Pajajaran. Pelabuhan ini kemudian dinamai Jayakarta. Kota ini
hanya seluas 15 hektar dan memiliki tata kota pelabuhan tradisional Jawa. Tahun
1619, VOC menghancurkan Jayakarta di bawah komando Jan Pieterszoon Coen. Satu
tahun kemudian, VOC membangun kota baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren,
leluhur bangsa Belanda. Kota ini terpusat di sekitar tepi timur Sungai
Ciliwung, saat ini Lapangan Fatahillah.
Tahun 1635, kota ini meluas
hingga tepi barat Sungai Ciliwung, di reruntuhan bekas Jayakarta. Kota ini
dirancang dengan gaya Belanda Eropa lengkap dengan benteng (Kasteel Batavia),
dinding kota, dan kanal. Kota ini diatur dalam beberapa blok yang dipisahkan
oleh kanal. Kota Batavia selesai dibangun tahun 1650. Batavia kemudian menjadi
kantor pusat VOC di Hindia Timur. Kanal-kanal diisi karena munculnya wabah
tropis di dalam dinding kota karena sanitasi buruk. Kota ini mulai meluas ke
selatan setelah epidemi tahun 1835 dan 1870 mendorong banyak orang keluar dari
kota sempit itu menuju wilayah Weltevreden (sekarang daerah di sekitar Lapangan
Merdeka). Batavia kemudian menjadi pusat administratif Hindia Timur Belanda.
Tahun 1942, selama pendudukan Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta dan
masih berperan sebagai ibu kota Indonesia sampai sekarang.
Tahun 1972, Gubernur Jakarta, Ali
Sadikin, mengeluarkan dekrit yang resmi menjadikan Kota Tua sebagai situs
warisan. Keputusan gubernur ini ditujukan untuk melindungi sejarah arsitektur
kota, atau setidaknya bangunan yang masih tersisa di sana.
Pada masa janya dulu sekitar abad
16, kota tua ini mendapat gelar Permata Asia dan juga Ratu dari Timur dari para
pedagang Eropa, karena kota ini dianggap sebagai pusat perdagangan Asia. Hal
itu didukung dengan lokasinya yang strategis dan melimpahnya sumber daya alam.
Selain itu, karena tata kotanya bergaya Eropa dan menyerupai Belanda, kota ini
juga digelari the little of Amsterdam atau Amsterdam in the east.
Nah, salah satu tempat yang
terdapat dikawasan kota lama yang sempat ku kunjungi adalah Museum Wayang. Sebagai
anak sejarah, wajar kali yaa mainannya museum hehee. Dilihat dari tampilan
luarnya, gedung museum ini terlihat layaknya gedung bergaya Eropa di daerah
tropis, tinggi menjulang, dengan banyak jendela. Gedung Museum Wayang ini,
menurut informan di sana, dulunya merupakan bangunan gereja yang dibangun
sekitar tahun 1640an. Gereja ini bernama de Oude Holandsche Kerk. Gereja
ini sampai tahun 1732 yang berfungsi sebagai tempat untuk peribadatan penduduk
sipil dan tentara bangsa Belanda yang tinggal di Batavia.
Pada
tahun 1733 gereja tersebut mengalami perbaikan, dan namanya dirubah menjadi de
nieuwe Hollandsche Kerk dan berdiri terus sampai tahun 1808. Di halaman
gereja ini, yang sekarang menjadi ruangan taman terbuka di bagian dalam Museum
Wayang, terdapat taman kecil dengan prasasti-prasastinya yang berjumlah 9 buah
yang menampilkan nama-nama pejabat Belanda yang pernah dimakamkan di halaman
gereja tersebut. Aku pun tersadar, ternyata ku foto didepan prasasti makam
plus bekas makamnya pejabat-pejabat Belanda itu. Tapi setidaknya, bangga juga
pernah”ziarah” ke bekas makamnya Jan Pieterszoon Coen. Si Coen inilah yang
diperintahkan Heeren XVII untuk memakai nama Batavia untuk kota Pelabuhan
Jayakarta. Kota Batavia yang dibangun oleh Coen diatas puing reruntuhan
Jayakarta dengan membuat suatu kota tiruan sesuai dengan kota-kota di negeri
Belanda.
Sebagai akibat terjadinya gempa,
bangunan Gereja Belanda Baru itu telah rusak. Selanjutnya lokasi bekas Gereja
tersebut dibangunlah gedung yang nampak sebagaimana sekarang ini dengan
fungsinya sebagi gudang milik perusahaan Geo Wehry & Co. Bagian muka museum
ini dibangun pada tahun 1912 dengan gaya Noe Reinaissance, dan pada tahun 1938
seluruh bagian gedung ini dipugar dan disesuaikan dengan gaya rumah Belanda pada
zaman Kompeni.
Sesuai besluit pemerintah Hindia
Belanda tertanggal 14 Agustus 1936 telah ditetapkan gedung beserta tanahnya
menjadi monumen. Selanjutnya dibeli oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten
en Wetenschappen (BG) yaitu lembaga independent yang didirikan untuk tujuan
memajukan penelitian dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang-bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi dan
sejarah, serta menerbitkan hasil penelitian.
Pada tahun 1937 oleh lembaga
tersebut gedung diserahkan kepada Stichting oud Batavia (Yayasan Batavia
Lama) dan kemudian dijadikan museum dengan nama de oude Bataviasche Museum
(Museum Batavia Lama) yang pembukaannya dilakukan oleh Gubernur Jenderal Hindia
Belanda terakhir, Jonkheer Meester Aldius Warmoldu Lambertus Tjarda van
Starkenborg Stachouwer (22 Desember 1939). Namanya sepanjang kereta api men!
Sejak
pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan R.I. gedung museum ini tidak
terawat. Maklumlah, semua pada sibuk perang, sibuk mempertahankan
Kemerdekaan. Museum pun terabaikan sementara waktu. Pada tahun 1957
diserahkan kepada Lembaga Kebudayaan Indonesia ( LKI ) dan sejak itu nama
museum diganti menjadi Museum Jakarta Lama.
Pada
tanggal 1 Agustus 1960 namanya disingkat menjadi Museum Jakarta. Pada tanggal
17 September 1962 oleh LKI diserahkan kepada pemerintah R.I. cq Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dan pada akhirnya pada tanggal 23 Juni 1968 oleh
Dirjen Kebudayaan Dep. Pendidikan dan Kebudayaan gedung museum diserahkan
kepada Pemerintah DKI Jakarta dan di gedung ini pula Dinas Museum dan Sejarah
DKI Jakarta berkantor. Dipindahtangankan mulu yaa.
Sejak
kepindahan Museum Jakarta (sekarang Museum Sejarah Jakarta) ke gedung bekas
KODIM 0503 Jakarta Barat yang dahulunya disebut gedung Stadhuis/ Balaikota,
maka bekas gedung Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta kemudian dijadikan
Museum Wayang. Gagasan didirikannya Museum Wayang adalah ketika Gubernur DKI
Jakarta H. Ali Sadikin ketika menghadiri Pekan Wayang II tahun 1974. Dengan
dukungan panitia acara tersebut, Gubernur DKI Jakarta dengan para pecinta
wayang, Pemerintah DKI Jakarta menunjuk gedung yang terletak di Jl. Pintu Besar
Utara No. 27 sebagai Museum Wayang.
Sebagai
pendamping Museum Wayang didirikan Yayasan Nawangi dengan H. Budiardjo sebagai
Ketua Umum. Selanjutnya Yayasan menunjuk Ir. Haryono Haryo Guritno sebagai
pimpinan proyek pendirian Museum Wayang. Sesudah penataan koleksi wayang
selesai maka pada tanggal 13 Agustus 1975 diresmikan pembukaan Museum Wayang
oleh Gubernur DKI Jakarta H. Ali Sadikin. Museum Wayang merupakan Unit
Pelaksana Teknis Dinas Kebudayaan dan Permuseuman di bidang pewayangan terakhir
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 134 tahun 2002
tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Okeh,
udah tau sejarahnya museum wayang, saatnya kita ngulik-ngulik isinya yaa. Klo
fasilitas yang tersedia disini, selain tempat koleksi wayang dipamerkan, ada
ruang 3 D untuk menampilkan animasi wayang 3 D, ga kalah deh sama bioskop. Ada
ruang pegelaran untuk berbagai pegelaran wayang, dari wayang kulit, wayang
golek sampai wayang orang. Ruang Master Pieces dan pastinya ruang tata pamer.
Yang mau sholat disini, tenang, didalam museum tersedia mushala yang cukup
nyaman. Toilet nya juga nyaman. Selain itu dilengkapi juga dengan ruang kantor
dan perpustakaan. Eh yang jualan marcendeas khas wayang juga ada, yahh buat
oleh-oleh lah.
Cuss, ku
cerita isinya ya. Buanyak buanget koleksi wayang yang dipamerin disini, not
just wayang, but the aksesoris pengiring pertunjukan wayang juga. Maklumlah,
kan kata om Brandess kan wayang yang sudah dikenal masyarakat Indonesia sejak
zaman prasejarah ini salah satu dari local geniusnya Indonesia. engg
apa hubungannya ya?
Lanjut.
Berapa jumlah persisnya koleksi wayang di museum ini, aku ga tau sih, ga sempat
ngitung. Yang ku ingat nih. Wayang yang dipamerkan tu ada wayang kulit. Si
wayang kulit ini terbagi dalam beberapa jenis. Ada yang namanya wayang kulit
Purwa Ngabean dari Jogya. Wayang ini dibuat pada tahun 1917 oleh keluarga
Ngabean, salah satu keluarga bangsawan di Yogyakarta yang terkenal arena
memiliki koleksi wayang kulit, juga kediamannya menjadi salah satu pusat
kesenian di Yogyakarta.
Wayang
kulit Kyai Intan, merupakan prakarsa seorang tionghoa bernama Babah Palim dari
Muntilan, Jawa Tengah. Dibuat pada tahun 1870. Wayang ini punya ciri khas
tersendiri. Wandanya memang sama dengan bentuk standar wayang kulit Jogja.
Bahan dasarnya kulit kerbau pilihan dengan ketebalan dan kehalusan kulitnya.
Cat yang digunakan tidak sama dengan wayang sekarang, yaitu cat sakura. Wayang
ini juga ditaburi intan batu yakut, makanya, dikasih nama wayang kulit kyai
intan.
Wayang kulit
Banjar pun ternyata ada di museum ini. wayang ini diperkirakan berasal dari
pengaruh Islam di zaman kesultanan Demak pada abad ke-16 M. wayang banjar ini
dikenal oleh suku Banjar di daerah Kalimantan Selatan, Tengah juga Timur.
Bentunya tidak berbeda dengan wayang kulit purwa, namun bahan yang digunakan
berbeda. Wayang kulit banjar menggunakan kulit lembu (sapi) dan pewarnaannya
dari cat minyak/kayu, seperti misalnya cat glotek sebagai bahan pewarna yang
utama. Tangkainya pun tidak terbuat dari tanduk kerbai seperti wayang purwa,
namun dari bambu.
Yang
paling aku suka itu Wayang Kulit Revolusi, tokoh wayangnya tu tokoh-tokoh
pahlawan revolusi, trus ada juga none belande men, si pitung juga ade men. Oh
ya, ada lagi, wayang ternyata tidak hanya identik dengan Jawa ataupun Islam.
ada yang namanya Wayang Kulit Wahyu. Lakon atau cerita dalam Wayang Kulit Wahyu
ini berasal dari Perjanjian Lama dan Baru. Masih buanyak lagi wayang kulit
lainnya di museum ne, lengkapnya silahkan datang ndri kesana yee.
Selain
wayang kulit, ada juga wayang golek. Tau kan wayang golek tu giman, yang kya si
cepot itu loo. Ada wayang golek Elung Bandung yang menurut informan berasal
dari tahun 1965 karya R.S. Prawiradilaga seorang budayawan asal Bandung dan
Sulaeman Prawiradilaga (yang dikenal dengan Pa Sule, bukan sule preketiw yaa)
seorang pensiunan Wedana. Wayang golek karya Pa Sule ini menggunakan bahan
dasar kayu cendana. Next, wayang golek Menak Kebumen, cerita maupun
penokohannya banyak terinpirasi dari ajaran agama Islam yang masuk ke tanah
Jawa. wayang golek sendiri pertama kali dibuat sunan Kudus sebagai salah satu
media penyebaran dan dakwah Islam di pulau Jawa. selain itu ada juga Lenong
Betawi dan lain-lain dehh.
Next,
ada wayang kategori unik, menurutku sih, yaitu wayang kardus yang dari namanya
saja sudah ketebak terbuat dari apa. Ada wayang bambu, wayang seng, wayang
tembaga etc.
Selain
wayang, museum ini juga memiliki koleksi perlengkapan pertunjukan wayang.
Seperti Gamelan Kyai Intan. Gamelan ini sebenarnya satu set dengan Wayang Kyai
Intan, yang diprakarsai oleh Babah Poli dan dibuat oleh Ki Guno Kerti pada
tahun 1870 di Muntilan, Jawa Tengah.
Juga ada
blencong, nah, siapa pula si blencong ini? makhluk setengah dewa kah? Cuss
kita kenalan. Dulu neh, sebelum yang namanya lampu listrik dikenal,
pertunjukan wayang kulit menggunakan lampu penerangan pada layar/geber dengan
memakai bahan bakar minyak kelapa yang diberi sumbu dari lowe atau benang kapas
yang merupakan bahan untuk tenun pakaian. Nah, si lampu berbasis minyak itulah
yang dinamakan blencong. Inget, blencong bukan bencong cin!
Selain
wayang lokal dari dalam negeri tercinta Indonesia, ternyata di museum wayang
ini juga ada wayang bule, wayang dari luar negeri maksudnya. Beneran, ada
wayang dari negeri tirai bambu; China, trus ada juga dari kamboja. Ne wayang
bentuknya kaya boneka, cantik tapi ada juga yang seram, bayangin aja film
horor barat yang ada bonekannya. Wayang dari daratan eropa emang
bentuknya kaya boneka, klo di Indonesia mungkin sejenis wayang golek. Ada
banyak dari daratan Eropa, misalnya dari Prancis, Inggris, Belanda, Rusia dan
sebagainya. Dari daratan Asia juga ada, misalnya ne, dari India, Thailand,
Vietnam, dan lain-lainlah.
Untuk
lebih lengkapnya silahkan anda kunjungi sendiri museumnya, okeh. Ga ada ruginya
ko jalan-jalan ke museum. Senang sejarah, yang identik dengan masa lalu, bukan
berarti ga bisa move on yaa. Ada satu qoute yang menarik “ past is a nice place
to visit, but certainly not a good place to stay”. Iya, berkunjung ke masa lalu itu menyenangkan,
namun bukan untuk berdiam. Kita hanya berkunjung untuk belajar dari segala
sesuatu yang pernah terjadi, agar di masa depan kita bisa menjadi manusia yang
lebih baik.