Biarkan Ia Bebas, Sayang


Matahari terlalu cerah pagi ini. Garang menyengat setiap jiwa yang bergerak menunaikan kewajibannya. Memenuhi kebutuhan perut dia serta tanggungannya, entah itu anak, pasangan, orang tua, atau yang lainnya. Cuaca ini begitu kontras dengan beberapa hari yang lalu. Ketika kota seolah diselimuti duka. Awan kelabu tak lelah menaungi kota, hujan pun tak bosan membasahi setiap sudut jalanan. Penduduk kota pun lebih senang menghabiskan waktu dirumah bersama keluarga. Kebetulan ini musim liburan.

Seolah balas dendam beberapa hari tak dapat beraktifitas diluar rumah. Maka hari ini kota hidup kembali dari tidur panjangnya. Jalanan kembali ramai dengan lalu lalang mobil, kenderaan beroda dua, tak kalah sibuk angkutan umum yang menaikturunkan penumpang di tepian jalan. Toko serba pun sibuk melayani pembeli. Perkantoran kembali menggeliat dengan aktifitasnya. Taman kota pun tak kalah ramainya. Banyak anak yang memilih menghabiskan hari liburnya dengan berjalan-jalan di taman kota.
***
Dan itu juga yang kulakukan hari ini. Berjalan santai menyusuri setiap sudut taman, melempar batu ke danau buatan, memandangi anak-anak yang bermain di area khusus bermain anak, dan akhirnya terduduk dikursi taman dekat rumpunan bunga. Rumpun bunga aneka warna itu, selalu indah memandangnya. Kupu-kupu saja tak bosan terbang mengitarinya, sesekali hinggap pada kelopak bunga untuk mengisap madunya. Kumbang dan capung juga tak ingin kalah. Berkejaran menambah semarak taman.

Aku, gadis yang lahir dan menikmati masa kanak-kanak dikota ini. Aku baru saja kembali ke sini setelah sepuluh tahun menuntut ilmu di negeri seberang. Selama disana, jarang aku pulang. Selain karena jarak, orang tuaku juga tidak lagi tinggal di kota ini. Disini hanya ada kerabat dekat ayah ku.

Namun hari ini, aku kembali lagi ke kota ini. kembali menikmati kepakan sayap indah kupu-kupu di taman ini. Aku rindu. Rindu dengan kota ini dan segala kenangan yang tertoreh disini. Aku rindu menatap indahnya sayap kupu-kupu. Aku rindu melihat lincahnya capung beterbangan.

Kini, aku disini. Seperti enam belas tahun yang lalu. ketika itu usia ku enam tahun. Ayah mengajakku bermain ke taman ini. Aku selalu senang jika dia mengajakku ke sini. Kami akan berjalan menyusuri taman. Lomba melempar batu ke tengah danau. Ayah menaikkan ku ke ayunan dan mengayun dengan cepat sampai aku teriak ketakutan. Jika sudah lelah, ayah akan mengajakku duduk di kursi taman, menghadap rumpunan bunga.
***
Hari itu, aku merajuk pada ayah. Aku ingin sekali menangkap capung yang beterbangan, seolah menggoda ku untuk mengejar mereka. Ahda sayang, capung itu juga ingin bebas bermain, sama seperti Ahda. Ahda tidak suka kan jika dikurung dirumah, dilarang bermain? Lembut ayahku mencoba membujukku. Aku hanya diam tak bergeming. Hanya bibir ku yang bergerak membentuk kerucut. Capung juga makhluk Tuhan, Ahda. Ahda juga makhluk Tuhan kan? Seperti kata Ustadzah? Sesama makhluk Tuhan harus saling menyayangi Nak. Bukan menyakiti.

Ayah masih berusaha membujukku. Ahda sayang sama capung itu, Ayah. Makanya Ahda ingin bawa pulang. Biar Ahda jaga. Kan kalau dirumah dia ga akan kehujanan. Trus dia bisa main sama Ahda, Ayah. Sedikit terisaak ketika kalimat terakhir meluncur dari mulut kecil ku. Ayah hanya tersenyum lembut, Ahda sayang, sini dengarkan Ayah. Ayah berkata sambil mengusap air mata ku dengan tangannya. Ahda, menyayangi tidak harus memiliki, tidak harus bersama. Ahda sayang dengan capung itu kan? Aku mengangguk cepat. Capung itu sama seperti Ahda. Dia punya keluarga, punya teman-teman. Sekarang, coba Ahda bayangkan, kalau suatu hari Ahda diculik seseorang yang katanya sayang dengan Ahda. Dia memisahkan Ahda dengan Ayah dan Ibu. Apa Ahda senang? Cepat aku menggeleng, tak bisa ku bayangkan jika harus berpisah dengan ayah ibu ku. Begitu pula capung itu, Sayang. Dia tentu akan sedih jika harus berpisah dengan orang yang disayanginya.

Menyayangi tak harus memiliki, Sayang. Membiarkan dia bahagia itu juga bentuk rasa sayang mu. Biarkan ia bebas, Sayang. Kau tidak kehilangannya, Sayang. Kau masih bisa melihatnya, masih bisa bermain dengannya di sini,kan? Lihat, disana ada penjual es krim, Ahda mau? Akhirnya aku beranjak. Waktu itu aku tak paham dengan kata-kata ayah, hanya bujukan es krim yang membuatku berhenti merajuk.
***
Dan hari ini, aku benar-benar memahaminya Ayah. Kau benar, membiarkannya bebas beterbangan, jauh lebih baik dari memilikinya. Bukan lagi seekor capung, tapi sepotong hati. Ayah, aku menyayanginya entah sejak kapan. Mungkin sejak kami berkenalan dibawah pohon ketapang depan kampus. Atau sejak dia  mulai rajin bertanya kabar ku.

Dia, teman satu kampus ku. Namanya Alif, aku namanya ketika Orientasi mahasiswa baru. Kami mengenakan kalung identisas dari karton berukuran besar. Perkenalan resmi kami, ketika kami pulang dari perpustakaan kampus. Kami mengobrol banyak hal di bawah pohon ketapang depan kampus, bersembunyi dari terik matahari siang itu. Sejak obrolan itu, kami menjadi lebih akrab, karena ternyata kami berasal dari institusi pendidikan yang sama, namun berbeda tempat. Sekolah kami dulu ternyata satu yayasan, namun di cabang yang berbeda. Kesan pertamaku tehadapnya, dia lelaki yang menyenangkan sebagai teman. Dia cerdas, berkepribadian menawan, supel dalam bergaul, aktif dalam berbagai organisasi kampus.

Enam bulan pertama dikampus, dia selalu bisa menjadi teman yang menyenangkan. Menjadi tempat bertanya, menjadi teman berdebat, bahkan menjadi tutor ketika ku kesulitan menguasai materi kuliah. Selalu menyenangkan berinteraksi dengannya, walau tak jarang kami berdebat. Satu hal yang selalu memicu pertengkaran diantara kami, kami punya sifat yang sama. Keras kepala. Biasanya, pertengkaran tak akan berlangsung lama, selalu ada gencatan setelahnya.

Aku mulai tak nyaman berteman dengannya saat isue itu muncul. Kedekatan kami disalahartikan oleh teman-teman. Jujur, aku sangat tidak nyaman. Aku mulai menjaga jarak dengannya. Dia sempat menanyakan hal ini, kenapa Ahda berubah? aku hanya tersenyum dan bilang, tak ada yang berubah Alif, kau tetap temanku. Aku hanya tak nyaman dengan ocehan mereka. Alif memang teman yang baik. Dia juga mulai menjaga jarak dengan ku.

Tepat enam bulan sebelum hari ini, ketika kami menginjak semester akhir. Takdir mengakrabkanku lagi dengan Alif. Dalam sebuah proyek penugasan dari kampus, kami satu tim. Keakraban yang seakan membeku oleh waktu, kini mencair. Dia kembali menjadi Alifku yang dulu, dan aku menjadi Ahdanya.
Hari-hari seakan berkejaran. Waktu bergulir cepat. Proyek yang kami kerjakan selesai empat bulan kemudian dengan hasil yang gemilang. Dosen yang membimbing tim kami, puas dengan hasil yang kami capai. Empat bulan bekerjasama dengannya, seolah membuka banyak kebenaran yang selama ini ku pikir hanya khayalan teman ku.

Hari itu entah tanggal berapa, dia mengajakku jalan-jalan sekedar menikmati matahari sore. Dia tahu benar tempat favorit ku. tepi sungai yang teduh. Kami duduk didana, memesan es kelapa muda yang banyak dijajakan disana. Tanpa ku duga sebelumnya Alif mulai mengungkit kebenaran itu. Ahda, ika suatu hari nanti aku menjadi presiden negara ini, maukah Ahda menjadi ibu negaranya? Aku hanya tertawa mendengar pertanyaan itu. Dia hanya tersenyum, menatap ku lembut. ahh tatapan itu, mana mungkin ku lupakan. Maka bak air yang tak dapat dibendung, meluncurlah kata-kata penuh kejujuran itu. Manis terucap dari mulutnya. Getaran aneh menyerusup hati saat dia mengucapkan kata itu. Ayah, ini tak seperti ketika kau yang mengucapkannya

Sepanjang perjalanan pulang dengannya, rasanya menjadi perjalanan paling menyenangkan yang pernah ku rasakan. Dia sekarang teman dekat ku. Dia, Alifku. Dan aku, Ahdanya. Dia tetap menyenangkan, dan selalu menyenangkan. Sekarang, aku mulai belajar mengalah, meminimalisir keras kepala yang kadang berujung pertengkaran. Dia pun begitu. Semua berjalan indah.

Tepat sebulan sebelum aku berdiri disini, kami menghadapi ujian akhir. Ini merupakan rintangan terakhir ku dikampus. Sebentar lagi, aku akan menyandang predikat sarjana. Ujian yang benar-benar berat, karena ujian ini mengharuskan mahasiswa mengerahkan seluruh kemampuan yang didapatnya selama belajar di kampus ini.

Ujian ternyata tak hanya menyapa kehidupan akademis ku. Ujian juga menyapa aku dan Alif. Tak ada masalah yang berarti antara kami. Hanya saja, tiba-tiba seolah ada tembok kokoh diantara kami. Tembok tebal tanpa bisa kami tembus. Memisahkan kami di masing-masing sudut kehidupan.

Malam sebelum ujian di mulai, Dina datang ke kamar ku. Dia memang sahabat karib ku, juga temannya Alif. Dina yang biasa berwajah cerah, datang ke kamarku dengan wajah sendu. Tanpa ku minta, dia mulai bertutur. Tetang perasaannya, tentang keinginannya, tentang harapannya. Aku terdiam tak tau harus berkata apa. Karena dia menginginkan Alif. Dina bicara tentang perasaanya pada Alif.
 
Ahda, sepertinya dia juga menyayangi ku. dia begitu perhatian dengan ku dikelas. Apalagi waktu aku baru keluar dari rumah sakit. Dina memang sekelas dengan Alif, dan dia tak tahu kalau aku teman spesialnya Alif.
***
Sayang, jangan egois Nak. Berikan es krim padanya. Berbagi itu indah, Ahda. Kelak, kau akan menerima hal yang lebih indah dari hal yang kau berikan. Ayah, dia selalu mengajarkan ku berbagi. Dia mengajarkan ku melepaskan. Ayah tak pernah mengajarkanku merampas yang bukan milikku. Ayah tak pernah mengajarkanku menyakiti. Dan itu yang kulakukan, Ayah.

Banjarmasin, 6 Juli 2013.. Alyz,s first anniversary ^-^

Mengintip Hulu Sungai Selatan Masa Praaksara (sebuah catatan di hari ulang tahun)

Jreng jreng jrengggg… Syelamath Ulang Tahun kabupaten ku yang manis dan indah, Hulu Sungai Selatan.. Roma atau Paris, indah Kandang...