A.
Pengertian
Interpretasi Dalam Metode Sejarah
Secara
harfiah, interpretasi berarti pemberian kesan, pendapat atau pandangan teoritis
terhadap sesuatu. Kata yang dapat menjadi padanan untuk interpretasi yaitu
penafsiran. Jika dilihat dari definisi diatas, suatu objek yang telah jelas
maknanya, maka objek tersebut tidak mengundang interpretasi. Istilah
interpretasi sendiri dapat merujuk proses penafsiran yang sedang berlangsung
atau hasil dari proses penafsiran.
Dalam
proses penulisan sejarah, juga dikenal istilah interpretasi. Interpretasi
merupakan bagian dari metode penelitian sejarah. Metode ialah suatu cara untuk
berbuat sesuatu, suatu prosedur untuk mengerjakan sesuatu. Dapat juga diartikan
keteraturan dalam berbuat, atau suatu sistem yang teratur. Jadi metode ada
hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau teknis yang sistematis dalam
penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan)
yang diteliti.
Metode
penelitian sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai pedoman dalam
melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Dengan kata lain,
metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa
sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history
as written). Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode penelitian itu
disebut metode sejarah.
Metode
sejarah digunakan sebagai metode penelitian, pada prinsipnya bertujuan untuk
menjawab enam pertanyaan (5 W dan 1 H) yang merupakan elemen dasar penulisan
sejarah, yaitu what (apa), when (kapan), where (dimana), who
(siapa), why (mengapa), dan how (bagaimana).
Pertanyaanpertanyaan itu konkretnya adalah: Apa (peristiwa apa) yang terjadi?
Kapan terjadinya? Di mana terjadinya? Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu?
Mengapa peristiwa itu terjadi? Bagaimana proses terjadinya peristiwa itu?
Pada
proses penulisan sejarah sebagai kisah, pertanyaan-pertanyaan dasar itu
dikembangkan sesuai dengan permasalahan yang perlu diungkap dan dibahas.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus menjadi sasaran penelitian
sejarah, karena penulisan sejarah dituntut untuk menghasilkan eksplanasi
(kejelasan) mengenai signifikansi (arti penting) dan makna peristiwa.
Dalam
metode sejarah ada beberapa tahapan kegiatan yaitu heutistik, kritik, dan
historiografi. Tahap kegiatan yang terakhir disebut adalah kegiatan penulisan
sejarah (penulisan hasil penelitian sejarah), bukan kegiatan penelitian
sejarah. Dalam tahap terakhir ini juga terjadi proses interpretasi, eksplanasi,
dan penyajian.
Heuristik
adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan. Berhasil-tidaknya
pencarian sumber, pada dasarnya tergantung dari wawasan peneliti mengenai
sumber yang diperlukan dan keterampilan teknis penelusuran sumber. Pada tahapan
ini, peneliti sejarah mengumpulkan semua sumber yang mungkin menjadi sumber
dalam penulisan sejarah. Sumber tersebut tidak hanya berupa sumber tertulis
namun juga dapat berupa sumber benda atau bahkan sumber lisan.
Tahap
kedua dalam metode sejarah yaitu kritik. Kritik merupakan kegiatan penyeleksian
data agar diperoleh fakta yang akurat dengan penelitian yang akan dilakukan
sejarawan. Kritik terbagi dua yaitu
kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal menilai kesesuaian
sumber dengan penelitian yang akan dilakukan serta keaslian sumber. Sedangkan
kritik internal menilai kredibilitas (dapat dipercaya) suatu sumber.
Sesuadah
menyelesaikan langkah pertama dan kedua berupa heuristik dan kritik sumber,
sejarawan memasuki langkah selanjutnya yaitu penulisan sejarah (historiografi).
Tahap-tahap penulisan mencakup interpretasi sejarah, eksplanasi sejarah sampai
kepada presentasi atau pemaparan sejarah.
Dalam
penulisan sejarah, digunakan secara bersamaan tiga bentuk teknik dasar tulis
menuli yaitu deskripsi, narasi dan analisis. Ketika sejarawan menulis ada dua
dorongan utama yang menggerakkannya yakni mencipta ulang (re create) dan
menafsirkan (interpret). Dorongan pertama menuntut deskripsi dan narasi,
sedangkan dorongan kedua menuntut analisis. Sejarawan yang berorientasi pada
sumber-sumber sejarah saja akan menggunakan porsi deskripsi dan narasi yang
lebih banyak. Sedangkan sejarawan yang berorientasi pada problem atau masalah,
selain menggunakan deskripsi dan narasi, akan lebih mengutamakan analisis. Akan
tetapi apapun cara yang dipergunakan, semuanya akan bermuara pada sintesis.
Sehubungan
dengan teknik deskripsi, narasi dan analisis diatas, sebenarnya sebagian besar
para sejarawan dalam karya-karya mereka itu “bercerita”. Akan tetapi sejarah
yang diceritakan para sejarawan itu, menurut ahli filsafat Athur C. Danto
adalah “cerita-cerita yang sebenarnya”. Mereka berusaha sebaik-baiknya untuk
menceritakan cerita-cerita sebenarnya menurut topik-topik atau masalah-masalah
yang mereka pilih. Hanya saja teknik deskripsi-narasi ini seringkali dikaitkan
dengan bentuk atau model sejarah lama (old history), sedangkan teknik analisis
dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah baru (new history).
Dalam
interpretasi atau penafsiran sumber sejarah, terdapat beberapa bentuk yaitu:
1. Determinisme
rasial
Penafsiran sejarah berdasarkan pada faktor-faktor
sifat fisik pada diri manusia (etnologis, keturunan, ras). Sejarawan
beranggapan bahwa faktor sifat fisik manusia merupakan faktor pengontrol dalam
sejarah manusia, sehingga dalam nenafsirkan sejarah, mereka mengutamakan faktor
sifat fisik tersebut.
2. Penafsiran
geografis
Kelompok
sejarawan ini melihat dari dari segi fisik sebagai pembuat sejarah dan dengan
demikian mengecilkan peranan manusia. Mereka mencari kunci sejarah dalam
lingkungna fisik di luar manusia, seperti faktor-faktor geografis: iklim,
tanah, distribusi flora dan fauna, sumber-suber alam, bentuk tanah, dianggap
sebagai pengontrol sejarah. Sejarawan beranggapan bahwa faktor-faktor geografis di lingkungan akan berpengaruh terhadap
manusia yang tinggal di lingkungan itu. Maka sejarawan menafsirkan sejarah
tidak lepas dari faktor geografis tersebut.
3.
Interpretasi
ekonomi
Interpretasi
ekonomi diilhami oleh cara produksi (made of
production) dalam kehidupan ekonomi suatu bangsa menentukan karakter
umum sejarah bangsa itu seperti pola-pola politik, sosial, agama dan
kebudayaan. meskipun diakui juga adanya faktor-faktor non ekonomi dalam
politik, mora, sosial, dan intelektual, tetapi semua faktor non ekonomi ini adalah
hasil atau diperintah eleh faktoe ekonomi. Segala ide, pandangan politik dan
lembaga, teori-teori sosial dan nilai-nilai moral, ditentukan oleh
kondisi-kondisi ekonomi masyarakat itu, dalam metode memenuhi kebutuhan hidup,
dalam cara produksinya. Sejarawan dalam menafsirkan sejarah akan melihat pada
faktor-faktor ekonomi.
4. Penafsiran
(teori) orang besar
Para sejarawan dari kelompok Romantis berpendapat
bahwa yang menjadi faktor penyebab utama dalam perkembangan sejarah adalah
tokoh-tokoh orang besar (great man theory). Sejarah bagi mereka adalah biografi
kolektif. Yang dimsud dengan tokoh-tokoh besar misalnya para negarawan, kaisar,
raja, panglima perang, jenderal, dann para nabi.
5. Penafsiran
spritual atau idealistik
Penafsiran ini erat kaitannya dengan peran jiwa
(spirit, soul), ide (cita-cita) manusia dalam perkembangan sejarah. Sejarawan
beranggapan bahwa ide merupakan penggerak sejarah.
6. Penfsiran
ilmu dan teknologi
Penafsiran
ini mencoba melihat kemajuan manusia mempunyai hubungan langsung dengan
kemajuan ilmu dan teknologi. Ilmu pengetahuan dengan penafsiran teknologinya
ini pada gilirannya menentukan kehidupan dan kegiatan ekonomi manusia. Dalam
penafsiran ini tentu saja tetap menjadikan manusia sebagai “pencipta” ilmu
pengetahuan dan pemakai teknologi sebagai pemeran utama.
7.
Penafsiran
sosiologis
Penafsiran
ini mencoba melihat asal-usul, struktur dan kegiatan masyarakat dalam
interaksinya dengan lingkungan fisiknya; masyarakat dan lingkungan fisik
bersama-sama maju dalam suatu proses evolusi. Sosiologi (bersama-sama dengan
antropologi budaya) mencoba menjelaskan pengulangan dan keseragaman dalam
kausalitas sejarah.
8.
Penafsiran
sintesis
Penafsiran
ini mencoba menggabungkan semua faktor atau tenaga yang menjadi penggerak
sejarah. Menurut penafsiran ini tidak ada satu kategori “sebab-akibat” tunggal
yang cukup untuk menjelaskan semua fase dan periode perkembangan sejarah.
Artinya perkembangan dan jalannya sejarah digerakkan oleh berbagai faktor dan
tenaga bersama-sama dan manusia tetap sebagai pemeran utama.
Dalam
sejarah lisan, metode sejarah yang digunakan sama. Berawal dari pengumpulan
sumber (heuristik), kritik dan kemudian interpretasi lalu historiografi. Hanya
saja sumber sejarah yang digunakan dalam sejarah lisan adalah sumber atau bukti
lisan (dapat berupa tradisi lisan).
Tak
jarang sejarawan menghadapi kesulitan dalam interpretasi sejarah lisan. Hal ini
berkaitan dengan sumber sejarah dan juga bagaimana memperoleh sumber atau bukti
sejarah tersebut. Oleh karena itu, dalam menginterpretasikan sejarah lisan,
seorang peneliti sejarah harus benar-benar menguasai metode dalam sejarah
lisan. Perlu peran ilu bantu agar tidak keliru dalam menafsirkan bukti lisan.
Selain
itu, peneliti sejarah juga dapat menggunakan sumber atau bukti lain untuk
membantu menafsirkan sumber atau bukti lisan yang ia peroleh. Sumber atau bukti
tersebut bisa saja berupa sumber tertulis berupa dokumen,arsip, atau buku.
B. Subjektivitas dalam Interpretasi Sejarah
Istilah “sejarah” berasal dari bahasa Arab, yakni
dari kata “syajaratun” (dibaca”syajarah), yang memiliki arti “pohon kayu”.
Pengertian “pohon kayu” disini adalah adanya suatu kejadian,
perkembangan/pertumbuhan tentang sesuatu hal (peristiwa) dalam suatu
kesinambungan (kontinuitas). Selain itu ada pula peneliti yang menganggap bahwa
arti kata “syajarah” tidak sama dengan kata “sejarah”, sebab sejarah bukan
hanya bermakna sebagai “pohon keluarga” atau asal-usul atau silsilah. Walaupun
demikian diakui bahwa ada hubungan antara kata “syajarah” dengan kata
“sejarah”, seseorang yang mempelajari sejarah tertentu berkaitan dengan cerita,
silsilah, riwayat dan asal-usul tentang seseorang atau kejadian (Sjamsuddin,
1996: 2). Dengan demikian pengertian “sejarah” yang dipahami sekarang ini dari
alih bahasa Inggeris yakni “history”, yang bersumber dari bahasa Yunani
Kuno “historia” (dibaca “istoria”) yang berarti “belajar dengan
cara bertanya-tanya”. Kata “historia” ini diartikan sebagai pertelaan mengenai
gejala-gejala (terutama hal ikhwal manusia) dalam urutan kronologis (Sjamsuddin
dan Ismaun, 1996: 4).
Setelah menelusuri arti “sejarah” yang dikaitkan
dengan arti kata “syajarah” dan dihubungkan dengan pula dengan kata “history”,
bersumber dari kata “historia” (bahasa Yunani Kuno) dapat disimpulkan bahwa arti
kata sejarah sendiri sekarang ini mempunyai makna sebagai cerita, atau
kejadian yang benarbenar telah terjadi pada masa lalu. Sunnal dan
Haas (1993: 278) menyebutnya; “history is a chronological study that
interprets and gives meaning to events and applies systematic methods to
discover the truth”. Carr (1982: 30). menyatakan, bahwa “history is a
continous process of interaction between the historian and his facts,
and unending dialogue between the present and the past”. Kemudian disusul
oleh Depdiknas memberikan pengertian sejarah sebagai mata pelajaran yang
menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan
perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini
(Depdiknas, 2003: 1). Namun yang jelas kata kuncinya bahwa sejarah merupakan
suatu penggambaran ataupun rekonstruksi peristiwa, kisah, mapun cerita, yang
benar-benar telah terjadi pada masa lalu.
Dari definisi diatas menunjukkan dengan tegas bahwa
yang disebut sejarah ada tiga hal, yaitu:
1.
Kejadian-kejadian
peristiwa seluruhnya yang berhubungan nyata dengan yang nyata di damalam
manusia sekitar kita
2.
Cerita yang
tersusun secara sistematis (serba teratur rapi) dari kejadian dan peristiwa
umun
3.
Yaitu ilmu
(science, wetenschap) yang bertugas menyelidiki perkembangan negara-negara,
peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian masa lampau.
Prof. Sartono
Kartodirjo membagi sejarah dalam dua pengertian, yaitu sejarah dalam arti
subjektif dan sejarah dalam arti objektif.
Sejarah dalam
arti subjektif adalah konstruk, ialah bangunan yang disusun penulis sebagai
suatu uraian atau cerita. Uraian atau cerita itu merupakan suatu kesatuan atau
unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah,
baik proses maupun struktur. Kesatuan itu menunjukkan koherensi, artinya
pelbgai unsur bertalian satu sama lain dan merupakan satu kesatuan. Fungsi
unsur-unsur itu saling menopang dan saling tergantung satu sama lain
Sejarah dalam
arti objektif menunjukkkan kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, ialah proses
sejarah dalam aktualitasnya. Kejadian ini sekali terjadi dan tidak dapat
terulang kembali. Bagi orang yang ada kesempatan mengalami suatu kejadian
sebenarnya hanya dapat mengamati dan mengikuti sebagian dari totalitas kejadian
atau peristiwa itu. Keseluruhan proses itu berlangsung terlepas dari subjek
manapun juga. Jadi objektif dalam arti tidak memuat unsur-unsur subjek
(pengarang atau pengamat). Dalam ucapan “sejarah berulang” rupanya yang
dimaksudkan adalah sejarah dalam arti objektif, sedangkan ucapan “kita perlu
belajar dari sejarah” akan lebih menunjukkan sejarah dalam arti subjektif.
Ilmu sejarah
merupakan dasar semua disiplin ilmu yang termasuk dalam kategori ilmu-ilmu
sosial dan humaniora. Sejarah juga merupakan dasar kajian filsafat, ilmu politik,
ilmu ekonomi, seni juga agama/ religi. Sejarah adalah ilmu tentang manusia.
Sejarah berkaitan dengan ilmu hanya apabila sejarah mengkaji tentang kerja
keras manusia dan pencapaiannya. Sejarah mengkaji perjuangan manusia sepanjang
zaman. Sejarah kemudian menyajikan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia
dalam konteks sosial yang sesuai, dan menyajikan gagasan-gagasannya dalam
konteks manusia.
Dalam kajian
sejarah, tidak lepas dari lingkup waktu dan ruang. Waktu merupakan unsur
esensial dalam sejarah. Sejarah berkaitan dengan rangkaian peristiwa, dan
setiap peristiwa terjadi dalam lingkup waktu tertentu. Dengan demikian, waktu
dalam sejarah melahirkan perspektif tentang berbagai peristiwa yang terjadi dan
sekaligus sesuatu yang secara menonjol mampu memperindah masa lampau. Sejarah
umat manusia sesungguhnya merupakan proses perkembangan manusia dalam lingkup
waktu.
Sejarah juga
mengkaji manusia dalam dalam lingkup ruang. Baik sebagai individu maupun
bangsa, manusia dipelajari dalam konteks lingkungan fisik dan geografis.
Interaksi antara manusia dan lingkungan alam berlangsung secara dinamis.
Interaksi ini menghasilkan variasi perkembangan pada aktivitas manusia dan
pencapaiannya dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Cerita-cerita
tentang perubahan dan sebagainya serta ilmu yang menyelidiki perubahan tersebut
itu pada dasarnya merupakan kegiatan manusia. Manusia menyelidiki kenyataan
kemanusiaan yang terus berubah. Hasil peyelidikan itu olehnya diolah dihimpun
dalam sebuah cerita. Sejarah sebagai ilmu dan sejarah sebagai cerita adalah
ciptaan manusia dan bukan sesuatu yang timbula atau terjadi diluar usaha
manusia. Manusia sebagai subjek atau pemegang peranan dalam membuat ilmu dan
cerita. Dengan demikian ilmu sejarah dan cerita sejarah disebut sejarah serba
subjek, artinya hasil perbuatan manusia.
Masalah
subjektivitas dan atau objektivitas sejarah merupakan debat lama yang tidak
pernah selesai. Pertanyaan apakan sejarah dapat objjektif? Sebenarnya bukan
hanya sejarah saja tetapi juga disipli kognitif lain tidak dapat objketif jika
yang dimaksud objektif itu tuntutan seperti: kebenaran mutlak, sesuai dengan
kenyataan termasuk juga yang tersembunyi, netralisasi mutlak (tidak memihak,
tidak terikat) dan kondisi-kondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa
atau menuntut penempatan seluruh peristiwa kedalam hukum-hukum yang berlaku
umum
Sejarah
sebagaimana dipahami sejarawan bukanlah masa lalu melainkan catatan dan atau
ingatan mengenai masa lalu. oleh sebab itu jika tidak ada catatan atau ingatan
maka tidak ada sejarah.sebagai catatan dan atau ingatan, tentu ada orang yang
mencatat dan mengingat, dan sebagai manusia ia (mereka) mempunyai
pandangan-pandangan, mempunyai prasangka-prasangka yang yang memasuki catatan
dan ingatan itu dan memberi warna tertentu kepadanya yang disebut memihak
(bias). Dari sini saja si pencatat atau si pengingat sudah subjektif.
Ada beberapa hal
yang menyebabkan subjektivitas dalam penulisan sejarah, yaitu
1. Pemihakan
pribadi (personal bias)
Persoalan suka atau tidak suka pribadi terhadap
individu-individu atau golongan dari seseorang. Biasanya terjadi pada penulisan
sejarah dalam bentuk biografi, memoar, atau otobiografi.
2. Prasangka
kelompok
Disini menyangkut keanggotaan sejarawan dalam suatu
kelompok apakah itu bangsa, ras, kolompok sosial, atau agama tertentu.
3. Teori-teori
bertentangan tentang penafsiran sejarah
Penafsiran sejarah berdasarkan teori penggerak
sejarah yang dianut sejarawan. Berbagai teori itu kadang bertentangan satu sama
lain sehingga muncul subjektivitas
4. Konflik-konflik
filsafat yang mendasar
Konflik-konflik filsafat yang mendasar diperlukan
dalam menangani kasus yang ada kaitannya dengan kepercayaan moral. Secara
teoritis seseorang yang menganut filsafat hidup tertentu, paham, kepercayaan,
atau agama tertentu akan menulis sejarah berdasarkan pandangannya itu.
Menurut Arthur
Marwick dalam the nature of history, langkah-langkah metodologis yang
dikerjakan para sejarawan pada umumnya diterima sebagai langkah yang memiliki
validitas subjektivitas ilmu, barulah dalam tahap historiografi (tahap akhir)
ini disebut art atau seni sehingga sejarah sesungguhnya tidak mungkin objektif.
Padahal sejarah sebagai sebuah ilmu dituntut memiliki objektivitas. Sejarah
dianggap tidak mungkin objektif karena sudah memakai interpretasi dan
interpretasi. Bahkan dikatakan interpretasi itu adalah sejarah menurut paham
seseorang. Interpretasi dapat berarti sejarah menurut pendapat seseorang dan
seleksinya dilakukan dalam memilih fakta-fakta sejarah yang akan dikaji dalam
sebuah penelitian dengan metode sejarah. Interpretasi dan seleksi mau tidak mau
harus melibatkan pendirian pribadi peneliti.
Fakta sejarah
sebagai kebutuhan dasar historiografi harus diolah lebih dulu oleh peneliti
sejarah dari data-data sejarah. Dalam hal ini E.H Carr dalam bukunya what is
history, mengungkapkan bahwa fakta sejarah tidak mungkin dapat objektif karena
fakta sejarah itu diberi arti oleh peneliti sejarah.
Maka dalam
historiografi, subjektivitas tidak dapat dielakkan. Bukan hanya itu, penyusunan
periodesasi sejarah yang masuk dalam proses interpretasi juga tak dapat
menghindar dari subjektivitas.
Pendapat nugroho
notosusanto dalam artikelnya hakikat subjektivitas objektivitas sejarah yang
dimuat di kompas, 23 september 1974 mengungkapkan “dalam tahap analitis
daripada metode sejarah ada kemungkinan bahwa kita dapat menjumpai objektivitas
sejarah, yakni dengan adanya sumber-sumber yang keras yang punya
eksistensi diluar pikiran manusia. Tetapi dalam tahap sintesis, khususnya dalam
kegiatan yang disebut interpretasi, seorang sejarawan adalah subjektif”. Memang
fakta membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan pribadi sejarawan,
hingga seorang Benedetto Croce berteori “semua sejarah adalah masa kini.” Yaitu
sesuai dengan alam pikiran dan zaman pengarang hidup.
Berkenaan dengan
masalah subjektivitas dan objektivitas, subjektivitas dalam penulisan adalah
“halal” karena tanpa subjektifitas maka tidak akan pernah ada objektivitas.
Disini harus dibedakan antara subjektivitas dan subjektivisme, yang tidak
diperbolehkan mempengaruhi sebuah tulisan sejarah adalah adanya unsur
subjektivisme bukan subjektivitas. Dalam konsep subjektivitas, objek tidak
dinilai sebagaiman harusnya, namun dipandang sebagai kreasi, konstruksi
akal budi. Berpikir disamakan dengan menciptakan, bukan membantu kebenaran
keluar dari persembunyiannya. Subjektivisme adalah kesewenangan subjek dalam
mengadakan seleksi, interpretasi, dalam menyusun periodesasi, namun
kesewenangan tersebut tidak bertumpu pada dasar yang dapat dipertanggungjawabkan,
sedangkan subjektivitas sangat erat hubungannya dengan kejujuran hati dan
kejujuran intelektual.
Daftar Pustaka
Ali,
R Moh. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: LLKis Yogyakarta
Daliman,
A.. 2012. Metode Penelitian Sejarah.. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Kuntowijoyo.
2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Poesporodjo.
1987. Subjektivitas dalam Historiografi. Dibaca dari Google book
Pranoto,
Suhartono W. 2010. Teori &
Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sjamsuddin,
Helius. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Thompson,
Paul. 2012. Teori dan Metode Sejarah Lisan. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Wikipedia.
Interpretaasi . Diambil dari http://id.wikipedia.org
Terimakasih sangat membantu 😊
BalasHapusTerimakasih sangat membantu 😊
BalasHapus