Subjektivitas dalam Interpretasi Sejarah



A.    Pengertian Interpretasi Dalam Metode Sejarah
Secara harfiah, interpretasi berarti pemberian kesan, pendapat atau pandangan teoritis terhadap sesuatu. Kata yang dapat menjadi padanan untuk interpretasi yaitu penafsiran. Jika dilihat dari definisi diatas, suatu objek yang telah jelas maknanya, maka objek tersebut tidak mengundang interpretasi. Istilah interpretasi sendiri dapat merujuk proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasil dari proses penafsiran.
Dalam proses penulisan sejarah, juga dikenal istilah interpretasi. Interpretasi merupakan bagian dari metode penelitian sejarah. Metode ialah suatu cara untuk berbuat sesuatu, suatu prosedur untuk mengerjakan sesuatu. Dapat juga diartikan keteraturan dalam berbuat, atau suatu sistem yang teratur. Jadi metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau teknis yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan) yang diteliti.
Metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history as written). Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode penelitian itu disebut metode sejarah.
Metode sejarah digunakan sebagai metode penelitian, pada prinsipnya bertujuan untuk menjawab enam pertanyaan (5 W dan 1 H) yang merupakan elemen dasar penulisan sejarah, yaitu what (apa), when (kapan), where (dimana), who (siapa), why (mengapa), dan how (bagaimana). Pertanyaanpertanyaan itu konkretnya adalah: Apa (peristiwa apa) yang terjadi? Kapan terjadinya? Di mana terjadinya? Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu? Mengapa peristiwa itu terjadi? Bagaimana proses terjadinya peristiwa itu?
Pada proses penulisan sejarah sebagai kisah, pertanyaan-pertanyaan dasar itu dikembangkan sesuai dengan permasalahan yang perlu diungkap dan dibahas. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus menjadi sasaran penelitian sejarah, karena penulisan sejarah dituntut untuk menghasilkan eksplanasi (kejelasan) mengenai signifikansi (arti penting) dan makna peristiwa.
Dalam metode sejarah ada beberapa tahapan kegiatan yaitu heutistik, kritik, dan historiografi. Tahap kegiatan yang terakhir disebut adalah kegiatan penulisan sejarah (penulisan hasil penelitian sejarah), bukan kegiatan penelitian sejarah. Dalam tahap terakhir ini juga terjadi proses interpretasi, eksplanasi, dan penyajian.
Heuristik adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan. Berhasil-tidaknya pencarian sumber, pada dasarnya tergantung dari wawasan peneliti mengenai sumber yang diperlukan dan keterampilan teknis penelusuran sumber. Pada tahapan ini, peneliti sejarah mengumpulkan semua sumber yang mungkin menjadi sumber dalam penulisan sejarah. Sumber tersebut tidak hanya berupa sumber tertulis namun juga dapat berupa sumber benda atau bahkan sumber lisan.
Tahap kedua dalam metode sejarah yaitu kritik. Kritik merupakan kegiatan penyeleksian data agar diperoleh fakta yang akurat dengan penelitian yang akan dilakukan sejarawan.  Kritik terbagi dua yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal menilai kesesuaian sumber dengan penelitian yang akan dilakukan serta keaslian sumber. Sedangkan kritik internal menilai kredibilitas (dapat dipercaya) suatu sumber.
Sesuadah menyelesaikan langkah pertama dan kedua berupa heuristik dan kritik sumber, sejarawan memasuki langkah selanjutnya yaitu penulisan sejarah (historiografi). Tahap-tahap penulisan mencakup interpretasi sejarah, eksplanasi sejarah sampai kepada presentasi atau pemaparan sejarah.
Dalam penulisan sejarah, digunakan secara bersamaan tiga bentuk teknik dasar tulis menuli yaitu deskripsi, narasi dan analisis. Ketika sejarawan menulis ada dua dorongan utama yang menggerakkannya yakni mencipta ulang (re create) dan menafsirkan (interpret). Dorongan pertama menuntut deskripsi dan narasi, sedangkan dorongan kedua menuntut analisis. Sejarawan yang berorientasi pada sumber-sumber sejarah saja akan menggunakan porsi deskripsi dan narasi yang lebih banyak. Sedangkan sejarawan yang berorientasi pada problem atau masalah, selain menggunakan deskripsi dan narasi, akan lebih mengutamakan analisis. Akan tetapi apapun cara yang dipergunakan, semuanya akan bermuara pada sintesis.
Sehubungan dengan teknik deskripsi, narasi dan analisis diatas, sebenarnya sebagian besar para sejarawan dalam karya-karya mereka itu “bercerita”. Akan tetapi sejarah yang diceritakan para sejarawan itu, menurut ahli filsafat Athur C. Danto adalah “cerita-cerita yang sebenarnya”. Mereka berusaha sebaik-baiknya untuk menceritakan cerita-cerita sebenarnya menurut topik-topik atau masalah-masalah yang mereka pilih. Hanya saja teknik deskripsi-narasi ini seringkali dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah lama (old history), sedangkan teknik analisis dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah baru (new history).
Dalam interpretasi atau penafsiran sumber sejarah, terdapat beberapa bentuk yaitu:
1.      Determinisme rasial
Penafsiran sejarah berdasarkan pada faktor-faktor sifat fisik pada diri manusia (etnologis, keturunan, ras). Sejarawan beranggapan bahwa faktor sifat fisik manusia merupakan faktor pengontrol dalam sejarah manusia, sehingga dalam nenafsirkan sejarah, mereka mengutamakan faktor sifat fisik tersebut.
2.      Penafsiran geografis
Kelompok sejarawan ini melihat dari dari segi fisik sebagai pembuat sejarah dan dengan demikian mengecilkan peranan manusia. Mereka mencari kunci sejarah dalam lingkungna fisik di luar manusia, seperti faktor-faktor geografis: iklim, tanah, distribusi flora dan fauna, sumber-suber alam, bentuk tanah, dianggap sebagai pengontrol sejarah. Sejarawan beranggapan bahwa faktor-faktor geografis  di lingkungan akan berpengaruh terhadap manusia yang tinggal di lingkungan itu. Maka sejarawan menafsirkan sejarah tidak lepas dari faktor geografis tersebut.
3.      Interpretasi ekonomi
Interpretasi ekonomi diilhami oleh cara produksi (made of  production) dalam kehidupan ekonomi suatu bangsa menentukan karakter umum sejarah bangsa itu seperti pola-pola politik, sosial, agama dan kebudayaan. meskipun diakui juga adanya faktor-faktor non ekonomi dalam politik, mora, sosial, dan intelektual, tetapi semua faktor non ekonomi ini adalah hasil atau diperintah eleh faktoe ekonomi. Segala ide, pandangan politik dan lembaga, teori-teori sosial dan nilai-nilai moral, ditentukan oleh kondisi-kondisi ekonomi masyarakat itu, dalam metode memenuhi kebutuhan hidup, dalam cara produksinya. Sejarawan dalam menafsirkan sejarah akan melihat pada faktor-faktor ekonomi.
4.      Penafsiran (teori) orang besar
Para sejarawan dari kelompok Romantis berpendapat bahwa yang menjadi faktor penyebab utama dalam perkembangan sejarah adalah tokoh-tokoh orang besar (great man theory). Sejarah bagi mereka adalah biografi kolektif. Yang dimsud dengan tokoh-tokoh besar misalnya para negarawan, kaisar, raja, panglima perang, jenderal, dann para nabi.
5.      Penafsiran spritual atau idealistik
Penafsiran ini erat kaitannya dengan peran jiwa (spirit, soul), ide (cita-cita) manusia dalam perkembangan sejarah. Sejarawan beranggapan bahwa ide merupakan penggerak sejarah.
6.      Penfsiran ilmu dan teknologi
Penafsiran ini mencoba melihat kemajuan manusia mempunyai hubungan langsung dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Ilmu pengetahuan dengan penafsiran teknologinya ini pada gilirannya menentukan kehidupan dan kegiatan ekonomi manusia. Dalam penafsiran ini tentu saja tetap menjadikan manusia sebagai “pencipta” ilmu pengetahuan dan pemakai teknologi sebagai pemeran utama.
7.      Penafsiran sosiologis
Penafsiran ini mencoba melihat asal-usul, struktur dan kegiatan masyarakat dalam interaksinya dengan lingkungan fisiknya; masyarakat dan lingkungan fisik bersama-sama maju dalam suatu proses evolusi. Sosiologi (bersama-sama dengan antropologi budaya) mencoba menjelaskan pengulangan dan keseragaman dalam kausalitas sejarah.
8.      Penafsiran sintesis
Penafsiran ini mencoba menggabungkan semua faktor atau tenaga yang menjadi penggerak sejarah. Menurut penafsiran ini tidak ada satu kategori “sebab-akibat” tunggal yang cukup untuk menjelaskan semua fase dan periode perkembangan sejarah. Artinya perkembangan dan jalannya sejarah digerakkan oleh berbagai faktor dan tenaga bersama-sama dan manusia tetap sebagai pemeran utama.
Dalam sejarah lisan, metode sejarah yang digunakan sama. Berawal dari pengumpulan sumber (heuristik), kritik dan kemudian interpretasi lalu historiografi. Hanya saja sumber sejarah yang digunakan dalam sejarah lisan adalah sumber atau bukti lisan (dapat berupa tradisi lisan).
Tak jarang sejarawan menghadapi kesulitan dalam interpretasi sejarah lisan. Hal ini berkaitan dengan sumber sejarah dan juga bagaimana memperoleh sumber atau bukti sejarah tersebut. Oleh karena itu, dalam menginterpretasikan sejarah lisan, seorang peneliti sejarah harus benar-benar menguasai metode dalam sejarah lisan. Perlu peran ilu bantu agar tidak keliru dalam menafsirkan bukti lisan.
Selain itu, peneliti sejarah juga dapat menggunakan sumber atau bukti lain untuk membantu menafsirkan sumber atau bukti lisan yang ia peroleh. Sumber atau bukti tersebut bisa saja berupa sumber tertulis berupa dokumen,arsip, atau buku.

B.     Subjektivitas dalam Interpretasi Sejarah
Istilah “sejarah” berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata “syajaratun” (dibaca”syajarah), yang memiliki arti “pohon kayu”. Pengertian “pohon kayu” disini adalah adanya suatu kejadian, perkembangan/pertumbuhan tentang sesuatu hal (peristiwa) dalam suatu kesinambungan (kontinuitas). Selain itu ada pula peneliti yang menganggap bahwa arti kata “syajarah” tidak sama dengan kata “sejarah”, sebab sejarah bukan hanya bermakna sebagai “pohon keluarga” atau asal-usul atau silsilah. Walaupun demikian diakui bahwa ada hubungan antara kata “syajarah” dengan kata “sejarah”, seseorang yang mempelajari sejarah tertentu berkaitan dengan cerita, silsilah, riwayat dan asal-usul tentang seseorang atau kejadian (Sjamsuddin, 1996: 2). Dengan demikian pengertian “sejarah” yang dipahami sekarang ini dari alih bahasa Inggeris yakni “history”, yang bersumber dari bahasa Yunani Kuno “historia” (dibaca “istoria”) yang berarti “belajar dengan cara bertanya-tanya”. Kata “historia” ini diartikan sebagai pertelaan mengenai gejala-gejala (terutama hal ikhwal manusia) dalam urutan kronologis (Sjamsuddin dan Ismaun, 1996: 4).
Setelah menelusuri arti “sejarah” yang dikaitkan dengan arti kata “syajarah” dan dihubungkan dengan pula dengan kata “history”, bersumber dari kata “historia” (bahasa Yunani Kuno) dapat disimpulkan bahwa arti kata sejarah sendiri sekarang ini mempunyai makna sebagai cerita, atau kejadian yang benarbenar telah terjadi pada masa lalu. Sunnal dan Haas (1993: 278) menyebutnya; “history is a chronological study that interprets and gives meaning to events and applies systematic methods to discover the truth”. Carr (1982: 30). menyatakan, bahwa “history is a continous process of interaction between the historian and his facts, and unending dialogue between the present and the past”. Kemudian disusul oleh Depdiknas memberikan pengertian sejarah sebagai mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini (Depdiknas, 2003: 1). Namun yang jelas kata kuncinya bahwa sejarah merupakan suatu penggambaran ataupun rekonstruksi peristiwa, kisah, mapun cerita, yang benar-benar telah terjadi pada masa lalu.
Dari definisi diatas menunjukkan dengan tegas bahwa yang disebut sejarah ada tiga hal, yaitu:
1.      Kejadian-kejadian peristiwa seluruhnya yang berhubungan nyata dengan yang nyata di damalam manusia sekitar kita
2.      Cerita yang tersusun secara sistematis (serba teratur rapi) dari kejadian dan peristiwa umun
3.      Yaitu ilmu (science, wetenschap) yang bertugas menyelidiki perkembangan negara-negara, peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian masa lampau.
Prof. Sartono Kartodirjo membagi sejarah dalam dua pengertian, yaitu sejarah dalam arti subjektif dan sejarah dalam arti objektif.
Sejarah dalam arti subjektif adalah konstruk, ialah bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Uraian atau cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah, baik proses maupun struktur. Kesatuan itu menunjukkan koherensi, artinya pelbgai unsur bertalian satu sama lain dan merupakan satu kesatuan. Fungsi unsur-unsur itu saling menopang dan saling tergantung satu sama lain
Sejarah dalam arti objektif menunjukkkan kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, ialah proses sejarah dalam aktualitasnya. Kejadian ini sekali terjadi dan tidak dapat terulang kembali. Bagi orang yang ada kesempatan mengalami suatu kejadian sebenarnya hanya dapat mengamati dan mengikuti sebagian dari totalitas kejadian atau peristiwa itu. Keseluruhan proses itu berlangsung terlepas dari subjek manapun juga. Jadi objektif dalam arti tidak memuat unsur-unsur subjek (pengarang atau pengamat). Dalam ucapan “sejarah berulang” rupanya yang dimaksudkan adalah sejarah dalam arti objektif, sedangkan ucapan “kita perlu belajar dari sejarah” akan lebih menunjukkan sejarah dalam arti subjektif.
Ilmu sejarah merupakan dasar semua disiplin ilmu yang termasuk dalam kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sejarah juga merupakan dasar kajian filsafat, ilmu politik, ilmu ekonomi, seni juga agama/ religi. Sejarah adalah ilmu tentang manusia. Sejarah berkaitan dengan ilmu hanya apabila sejarah mengkaji tentang kerja keras manusia dan pencapaiannya. Sejarah mengkaji perjuangan manusia sepanjang zaman. Sejarah kemudian menyajikan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia dalam konteks sosial yang sesuai, dan menyajikan gagasan-gagasannya dalam konteks manusia.
Dalam kajian sejarah, tidak lepas dari lingkup waktu dan ruang. Waktu merupakan unsur esensial dalam sejarah. Sejarah berkaitan dengan rangkaian peristiwa, dan setiap peristiwa terjadi dalam lingkup waktu tertentu. Dengan demikian, waktu dalam sejarah melahirkan perspektif tentang berbagai peristiwa yang terjadi dan sekaligus sesuatu yang secara menonjol mampu memperindah masa lampau. Sejarah umat manusia sesungguhnya merupakan proses perkembangan manusia dalam lingkup waktu.
Sejarah juga mengkaji manusia dalam dalam lingkup ruang. Baik sebagai individu maupun bangsa, manusia dipelajari dalam konteks lingkungan fisik dan geografis. Interaksi antara manusia dan lingkungan alam berlangsung secara dinamis. Interaksi ini menghasilkan variasi perkembangan pada aktivitas manusia dan pencapaiannya dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Cerita-cerita tentang perubahan dan sebagainya serta ilmu yang menyelidiki perubahan tersebut itu pada dasarnya merupakan kegiatan manusia. Manusia menyelidiki kenyataan kemanusiaan yang terus berubah. Hasil peyelidikan itu olehnya diolah dihimpun dalam sebuah cerita. Sejarah sebagai ilmu dan sejarah sebagai cerita adalah ciptaan manusia dan bukan sesuatu yang timbula atau terjadi diluar usaha manusia. Manusia sebagai subjek atau pemegang peranan dalam membuat ilmu dan cerita. Dengan demikian ilmu sejarah dan cerita sejarah disebut sejarah serba subjek, artinya hasil perbuatan manusia.
Masalah subjektivitas dan atau objektivitas sejarah merupakan debat lama yang tidak pernah selesai. Pertanyaan apakan sejarah dapat objjektif? Sebenarnya bukan hanya sejarah saja tetapi juga disipli kognitif lain tidak dapat objketif jika yang dimaksud objektif itu tuntutan seperti: kebenaran mutlak, sesuai dengan kenyataan termasuk juga yang tersembunyi, netralisasi mutlak (tidak memihak, tidak terikat) dan kondisi-kondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa atau menuntut penempatan seluruh peristiwa kedalam hukum-hukum yang berlaku umum
Sejarah sebagaimana dipahami sejarawan bukanlah masa lalu melainkan catatan dan atau ingatan mengenai masa lalu. oleh sebab itu jika tidak ada catatan atau ingatan maka tidak ada sejarah.sebagai catatan dan atau ingatan, tentu ada orang yang mencatat dan mengingat, dan sebagai manusia ia (mereka) mempunyai pandangan-pandangan, mempunyai prasangka-prasangka yang yang memasuki catatan dan ingatan itu dan memberi warna tertentu kepadanya yang disebut memihak (bias). Dari sini saja si pencatat atau si pengingat sudah subjektif.
Ada beberapa hal yang menyebabkan subjektivitas dalam penulisan sejarah, yaitu
1.      Pemihakan pribadi (personal bias)
Persoalan suka atau tidak suka pribadi terhadap individu-individu atau golongan dari seseorang. Biasanya terjadi pada penulisan sejarah dalam bentuk biografi, memoar, atau otobiografi.
2.      Prasangka kelompok
Disini menyangkut keanggotaan sejarawan dalam suatu kelompok apakah itu bangsa, ras, kolompok sosial, atau agama tertentu.
3.      Teori-teori bertentangan tentang penafsiran sejarah
Penafsiran sejarah berdasarkan teori penggerak sejarah yang dianut sejarawan. Berbagai teori itu kadang bertentangan satu sama lain sehingga muncul subjektivitas
4.      Konflik-konflik filsafat yang mendasar
Konflik-konflik filsafat yang mendasar diperlukan dalam menangani kasus yang ada kaitannya dengan kepercayaan moral. Secara teoritis seseorang yang menganut filsafat hidup tertentu, paham, kepercayaan, atau agama tertentu akan menulis sejarah berdasarkan pandangannya itu.
Menurut Arthur Marwick dalam the nature of history, langkah-langkah metodologis yang dikerjakan para sejarawan pada umumnya diterima sebagai langkah yang memiliki validitas subjektivitas ilmu, barulah dalam tahap historiografi (tahap akhir) ini disebut art atau seni sehingga sejarah sesungguhnya tidak mungkin objektif. Padahal sejarah sebagai sebuah ilmu dituntut memiliki objektivitas. Sejarah dianggap tidak mungkin objektif karena sudah memakai interpretasi dan interpretasi. Bahkan dikatakan interpretasi itu adalah sejarah menurut paham seseorang. Interpretasi dapat berarti sejarah menurut pendapat seseorang dan seleksinya dilakukan dalam memilih fakta-fakta sejarah yang akan dikaji dalam sebuah penelitian dengan metode sejarah. Interpretasi dan seleksi mau tidak mau harus melibatkan pendirian pribadi peneliti.
Fakta sejarah sebagai kebutuhan dasar historiografi harus diolah lebih dulu oleh peneliti sejarah dari data-data sejarah. Dalam hal ini E.H Carr dalam bukunya what is history, mengungkapkan bahwa fakta sejarah tidak mungkin dapat objektif karena fakta sejarah itu diberi arti oleh peneliti sejarah.
Maka dalam historiografi, subjektivitas tidak dapat dielakkan. Bukan hanya itu, penyusunan periodesasi sejarah yang masuk dalam proses interpretasi juga tak dapat menghindar dari subjektivitas.
Pendapat nugroho notosusanto dalam artikelnya hakikat subjektivitas objektivitas sejarah yang dimuat di kompas, 23 september 1974 mengungkapkan “dalam tahap analitis daripada metode sejarah ada kemungkinan bahwa kita dapat menjumpai objektivitas sejarah, yakni dengan adanya sumber-sumber yang keras yang punya eksistensi diluar pikiran manusia. Tetapi dalam tahap sintesis, khususnya dalam kegiatan yang disebut interpretasi, seorang sejarawan adalah subjektif”. Memang fakta membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan pribadi sejarawan, hingga seorang Benedetto Croce berteori “semua sejarah adalah masa kini.” Yaitu sesuai dengan alam pikiran dan zaman pengarang hidup.
Berkenaan dengan masalah subjektivitas dan objektivitas, subjektivitas dalam penulisan adalah “halal” karena tanpa subjektifitas maka tidak akan pernah ada objektivitas. Disini harus dibedakan antara subjektivitas dan subjektivisme, yang tidak diperbolehkan mempengaruhi sebuah tulisan sejarah adalah adanya unsur subjektivisme bukan subjektivitas. Dalam konsep subjektivitas, objek tidak dinilai sebagaiman harusnya, namun dipandang sebagai kreasi, konstruksi akal budi. Berpikir disamakan dengan menciptakan, bukan membantu kebenaran keluar dari persembunyiannya. Subjektivisme adalah kesewenangan subjek dalam mengadakan seleksi, interpretasi, dalam menyusun periodesasi, namun kesewenangan tersebut tidak bertumpu pada dasar yang dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan subjektivitas sangat erat hubungannya dengan kejujuran hati dan kejujuran intelektual.

Daftar Pustaka
Ali, R Moh. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: LLKis Yogyakarta
Daliman, A.. 2012. Metode Penelitian Sejarah.. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Poesporodjo. 1987. Subjektivitas dalam Historiografi. Dibaca dari Google book
Pranoto, Suhartono W.  2010. Teori & Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sjamsuddin, Helius. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Thompson, Paul. 2012. Teori dan Metode Sejarah Lisan. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Wikipedia. Interpretaasi . Diambil dari http://id.wikipedia.org

2 komentar:

Implementasi MPI dengan Manggau Amas

Pelajaran matematika dan fisika yang dianggap oleh sebagian orang itu sulit, saya menyukainya. Pelajaran bahasa Inggris yang katanya membuat...