Oleh: Asvi Warman Adam
Menanamkan nasionalisme pada siswa telah dilakukan pada masa Orde Baru dengan memasukkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dalam kurikulum sekolah. Hal ini dilatarbelakangi hasrat Presiden Soeharto agar pelajaran sejarah tidak sekedar mengajarkan pengetahuan sejarah belaka, melainkan juga menanamkan nilai-nilai perjuangan bangsa dalam hati siswa. Keinginan itu muncul setelah dia mendapat masukan dari Jenderal M Jusuf bahwa calon taruna Akabri memiliki pengetahuan yang dangkal tentang sejarah perjuangan bangsa2. Dari kasus ini kelihatan bahwa urusan internal ABRI ternyata dijadikan urusan nasional.
Menanamkan nasionalisme pada siswa telah dilakukan pada masa Orde Baru dengan memasukkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dalam kurikulum sekolah. Hal ini dilatarbelakangi hasrat Presiden Soeharto agar pelajaran sejarah tidak sekedar mengajarkan pengetahuan sejarah belaka, melainkan juga menanamkan nilai-nilai perjuangan bangsa dalam hati siswa. Keinginan itu muncul setelah dia mendapat masukan dari Jenderal M Jusuf bahwa calon taruna Akabri memiliki pengetahuan yang dangkal tentang sejarah perjuangan bangsa2. Dari kasus ini kelihatan bahwa urusan internal ABRI ternyata dijadikan urusan nasional.
Untuk merealisasikan mata pelajaran PSPB di sekolah,
Presiden menugaskan Sekretaris Kabinet, Moerdiono, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Nugroho Notosusanto, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Hasan
Walinono, Kepala BP7 Hari Soeharto dan Ketua Umum PGRI Basuni Suryamiharja
untuk membahas masalah ini. Sebelum menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Nugroho Notosusanto telah lama mengusulkan pendidikan sejarah perjuangan bangsa
bahkan itu telah disampaikan semasa jabatan Menteri dipegang oleh Mashuri,
Sumantri Brodjonegoro, Syarif Thayeb dan Daoed Joesoef.3 Pada prinsipnya
Menteri-Menteri itu setuju tetapi pada saat kebijakan itu akan dilaksanakan di
tingkat bawah muncul berbagai kendala. Barulah saat Nugroho menjadi Menteri,
niat itu terkabul. Sebagaimana halnya dengan kebijakan lain pada masa Orde
Baru, maka program ini pun memerlukan dasar hukum yang jelas. Maka berdasarkan
TAP MPR no. II/MPR/1982 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara disebutkan “
Dalam rangka meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai 1945
kepada generasi muda, maka di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta, wajib
diberikan pendidikan sejarah perjuangan bangsa”.
Perbedaan antara PSPB dengan pelajaran sejarah adalah
pada aspek afektif dari ranah tujuan pendidikan4 yaitu lebih menekankan
penghayatan nilai-nilai. Misalnya setelah mendengar cerita tentang perang Aceh,
siswa dapat menghayati semangat perjuangan yang dilakukan para pahlawan dari
Aceh yang menentang penjajah Belanda. PSPB mulai dilaksanakan pada tahun ajaran
1984/1985 mulai dari tingkat TK (Taman Kanak-Kanak), SD, SMP sampai SMA.
Sebelum buku khusus tentang PSPB diterbitkan, maka buku “30 tahun
Indonesia Merdeka”5 dan buku Sejarah Nasional Indonesia untuk SMU jilid III
yang disunting oleh Nugroho Nosotusanto dan Yusmar Bari (keduanya sejarawan dari
Pusat Sejarah ABRI) menjadi buku pegangan.
Tujuan instruksional 6 dari PSPB ini antara lain: a)
Siswa menyadari bahwa penjajahan Belanda menyebabkan penderitaan rakyat
Indonesia, b) Siswa meyakini kebenaran perjuangan para pahlawan dalam mengusir
penjajahan, c) Siswa menyadari bahwa persatuan dan kesatuan telah mengantarkan
bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan, d) Siswa menyadari bahwa politik
“divide et impera” Belanda dapat terlaksana karena
tidak adanya persatuan dan kesatuan, e) Siswa meyakini bahwa tidak adanya
persatuan dan pengutamaan kepentingan pribadi dan golongan mengakibatkan
pemerintahan yang menyimpang dari UUD 1945 (bahan pengajaran tentang RIS), f) Siswa
menyadari bahwa aksi-aksi sepihak PKI merupakan pemaksaan kehendak secara
sepihak untuk menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, g) Siswa
menyadari bahwa kesatuan-kesatuan aksi melawan PKI didorong oleh keberanian
membela kemerdekaan dan keadilan, h) Siswa meyakini bahwa Orde Baru mengutamakan
kepentingan Negara dan Masyarakat.
Tujuan pengajaran sejarah tersebut jelas bermuatan
politis yang sesuai dengan pandangan rezim yang berkuasa. Bahwa “persatuan dan
kesatuan” mutlak perlu, Orde Baru mesti didukung sedangkan PKI harus
“diganyang”. Mata pelajaran PSPB tidak diajarkan lagi sejak tahun 1994 dengan
keluarnya
Kurikulum 1994 yang tidak memasukkan lagi PSPB. Aspek
sejarah diajarkan dalam mata pelajaran sejarah, sedangkan aspek moral/nilai
diberikan dalam pelajaran PKN (Pelajaran Kewarga Negaraan). Alasan untuk
menghentikannya adalah alasan teknis. Karena pengajaran PSPB menekankan
kepentingan afektif dan itu tidak tercapai dalam prakteknya di lapangan. Protes
atau kritik PSPB memang pernah dilontarkan oleh berbagai sejarawan antara lain
Abdurrachman Surjomihardjo tentang substansi PSPB itu. Tetapi alasan yang
dipakai untuk menghentikannya adalah alasan teknis di atas.
Sejarah untuk legitimasi rezim
Menurut Marc Ferro7 penulisan sejarah sangat
tergantung dari foyer atau dapur tempat sejarah itu diolah dan dimasak.
Sejarah yang ditulis oleh Universitas, partai, Gereja atau lembaga penelitian
militer tentu akan berbeda. Sejarah resmi pada masa Orde Baru dibuat atau
didominasi penulisannya oleh Pusat Sejarah ABRI. Dengan demikian kepentingan
militer terlihat kentara dalam penulisan sejarah tersebut.
Pada masa-masa terakhir pemerintahan Sukarno memang
ada upaya untuk menggunakan sejarah bagi kepentingan politik “mencapai
sosialisme Indonesia”. Namun usaha untuk memonopoli kebenaran sejarah tidak
sempat dilakukan seperti halnya pada masa kekuasaan Soeharto. Pada era Orde
Baru sejarah dijadikan sebagai alat kepentingan penguasa dengan menciptakan
wacana bahwa Orba pengemban setia amanat UUD 45 dan Pancasila serta pelopor
pembangunan masyarakat. Fungsi itu tercakup dalam tiga tema utama tafsir
sejarah penguasa: 1) persatuan dan kesatuan, 2) ideologi dan sistem politik
yang benar, 3) pewarisan nilai.
Sejarah juga dimanfaatkan untuk menggalang kekuatan
internal tentara. Menurut Nugroho Notosusanto, “Sejarah adalah wahana yang
paling efektif” untuk memperkuat semangat integrasi ABRI”. Sesuai dengan
seminar TNI AD tahun 1972, maka dicanangkan pelestarian nilai-nilai 45. Tujuan
pewarisan nilai, jiwa dan semangat 1945 itu untuk mengenang generasi AD yang
berjuang dalam perang kemerdekaan. Nilai 45 itu menurut Kharis Suhud adalah
“mengatasi paham golongan serta mendahulukan kepentingan umum atau bangsa dan
negara di atas kepentingan kelompok dan perorangan”. Jadi tujuan ganda dari
pewarisan nilai 45 itu ada dua, ke dalam agar komponen ABRI senantiasa kompak
dan ke luar, agar masyarakat sipil meniru keteladanan dan mengagumi
kepahlawanan militer.
Ini menjadi alasan kuat untuk mengagungkan masa
“perang kemerdekaan”. Masa itu menduduki tempat terhormat dalam wacana sejarah
penguasa. Sebagaimana tertuang dalam doktrin dwifungsi, kebanggaan dan klaim
bahwa tentara adalah pejuang kemerdekaan yang setia mempertahankan dan berjasa
menyelamatkan Republik hasil Proklamasi Kemerdekaan ini menjadi alasan ABRI
untuk berperan di luar tugas militer dalam berbagai segi kehidupan.
Kalau perang kemerdekakan itu membanggakan, tidak
demikian halnya dengan kehidupan dalam demokrasi liberal sampai demokrasi
terpimpin. Pengalaman itu tidak saja dipandang membahayakan militer dan
memperlemah perjuangan demi kepentingan politiknya yaitu konsolidasi kekuasaan
dalam rangka melangsungkan pembangunan ekonomi. Masa sebelum Orde Baru disebut
Orde Lama dan digambarkan penuh keburukan: pertentangan ideologi,
pemberontakan, kebobrokan moral, kemacetan pembangunan ekonomi, pendeknya semua
yang mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara. Itu terjadi karena orang
menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945 dengan ideologi dan sistem politik yang
lain. Kemudian muncul Orde Baru yang menyelamatkan negara dan bangsa dari
krisis sosial politik 1965.
Menurut konstruksi sejarah Orde Baru, rezim ini muncul
secara konstitusionalisme, artinya melalui ketentuan hukum (Surat Perintah 11
Maret yang disahkan kemudian dengan TAP MPRS dan seterusnya ). Penegakan
Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen melahirkan stabilitas politik dan
ekonomi. Persatuan dan kesatuan dan pembangunan hanya bisa dicapai dengan
memegang teguh Pancasila dan UUD 1945. Sebab itu kehadiran Orde Baru yang
menjaga Pancasila dan UUD 1945 diperlukan.
Dengan kontruksi sejarah seperti itu, Orba mengajukan
alasan pembenaran pengambilalihan kekuasaan oleh penegak Orba dan sekaligus
mempertahankan kehadiran mereka.
Perubahan sejak era Reformasi
Terjadi berbagai perubahan penting setelah berakhirnya kepemimpinan
Jenderal Soeharto. Berbagai buku dan tayangan televisi mengenai sejarah yang
dulu tidak mungkin bisa ditampilkan kini telah dapat dinikmati masyarakat
Indonesia secara luas. Namun tetap belum ada buku pedoman atau rujukan untuk
pengajaran sejarah di sekolah seperti yang pernah dibuat pada era Orde Baru.
Buku Indonesia dalam Arus Sejarah yang bakal terbit, masih belum tepat dijadikan rujukan
menyangkut periode tertentu. Buku Sejarah Nasional Indonesia edisi
pemutakhiran terbitan Balai Pustaka masih memiliki berbagai kekurangan. Jadi
selain dari terbatasnya jam pengajaran sejarah dibanding materi yang harus
disampaikan, ketiadaan buku pedoman juga menjadi persoalan.
Tidak ada lagi kontrol penulisan sejarah resmi seperti yang terjadi pada
masa Orde Baru. Dalam kurikulum KTSP tahun 2006 penulisan istilah G30S (dalam
kurikulum berbasis kompentensi 2004) dikembalikan kepada istilah yang digunakan
selama Orde Baru yakni G30S/PKI. Namun jika Indonesia dalam Arus Sejarah yang disunting oleh
Prof Taufik Abdullah dan Prof AB Lapian yang terdiri dari 8 jilid itu dianggap
sebagai buku pedoman, maka kini penulisannya sudah dibakukan (kembali) menjadi
G30S. Bila keterbatasan waktu untuk mengajarkan materi yang demikian banyak
(sungguhpun terdapat pula ironi yaitu terbuangnya --kabarnya secara tidak
sengaja sejarah Timor Timur dari kurikulum) dicoba “disiasati” dengan pemusatan
perhatian kepada penanaman identitas kebangsaan, maka aspek yang relevan yang
diprioritaskan.
Tujuan pendidikan sejarah kebangsaan ini jelas berbeda dengan tujuan khusus
PSPB. Walaupun masih dapat digunakan tujuan umumnya agar “masyarakat khususnya
generasi penerus bisa meniru keteladanan dan menghindari kegagalan generasi
pendahulu”. Sejarah merupakan alat untuk menghidupkan dan memelihara gagasan
tentang bangsa yaitu” menularkan nilai-nilai luhur, melestarikan budaya,
memupuk kebanggaan nasional dan menggalang persatuan dan kesatuan bangsa”.
Perlu waktu 25-30 tahun untuk menunggu dibukanya arsip tertentu di berbagai
negara di dunia. Sebab itu saya berpandangan bahwa seyogianya periode
pengajaran sejarah dibatasi sampai pada peristiwa yang terjadi 30 tahun silam
atau sebelumnya. Diperlukan rentang waktu yang cukup untuk menilai atau
mengkaji lebih dalam suatu kejadian sejarah. Era reformasi yang dimulai sejak
tahun 1998 sebaiknya belum diajarkan di kelas karena prosesnya masih
berlangsung dan belum selesai. Bilamana tidak disepakati angka 25/30 tahun itu,
maka paling tidak pengajaran sejarah berhenti pada tahun 1998 dengan berhenti
Soeharto sebagai Presiden RI.
Identitas bangsa diketahui dengan melacak asal-usul bangsa itu di samping
mengetahui secara akurat perkembangan nama bangsa tersebut. Tempat tinggal dan
berusaha suatu bangsa disebut tanah air. Signifikansi letak dan kekayaan alam
yang ada di tanah air itu perlu dikaji lebih mendalam
Kalau kita berbicara tentang nasionalisme maka tonggak terpenting sejarah
Indonesia adalah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan ikrar tersebut
kita menyatakan sebagai bangsa yang merdeka, lepas dari penjajahan dan masuk
dalam komunitas internasional untuk mewujudkan perdamaian dunia. Kita sebagai
bangsa mampu menjalankan pemerintahan yang mandiri tidak didikte oleh kekuasaan
asing.
Berdasarkan pemikiran di atas, menurut hemat saya, materi sejarah yang
memprioritaskan pendidikan kebangsaan seyogianya memuat aspek sebagai berikut:
Materi Esensial Sejarah Kebangsaan Indonesia
1)
Asal usul
bangsa Indonesia: Siapakah kita, berasal dari mana, unsur pembentuk bangsa
2)
Sejarah nama
Indonesia
3)
Wilayah yang
ditempati: posisi strategis (negara maritim, wawasan nusantara) dan sumber daya
alam. Dampak dari letak dan kekayaan alam.
4)
Kerajaan
tradisional, pencapaian pada kerajaan-kerajaan seperti Sriwijaya, Majapahit dan
Banten.
5)
Penjajahan
bangsa Eropa dan perlawanan daerah
6)
Pergerakan
kebangsaan sejak awal abad XX (dari etnonasionalisme menjadi nasionalisme)
7)
Sumpah Pemuda
dan Manifesto Perhimpunan Indonesia 1925
8)
Perubahan
signifikan pada Jaman Jepang
9)
Lahirnya
Pancasila 1 Juni 1945
10) Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945
11) 11)Mengisi
kemerdekaan, masa awal 1945-1950 (kekacauan transisi pemerintahan, diplomasi
(politisi/diplomat), perjuangan bersenjata (tentara/polisi), dukungan rakyat)
12) Perang saudara
pada beberapa daerah 1950-2005 (dari RMS sampai dengan GAM)
13) Percobaan dua
demokrasi: Demokrasi liberal 1950-1959 (Perdebatan Konstituante) dan Demokrasi
Terpimpin 1959-1965 (Revolusi Belum Selesai)
14) 14)Orde Baru
1965/1966-1998 (Peralihan kekuasaan dalam konteks Perang Dingin dan Pencapaian
Orde Baru).
15) 15)Mengapa Orde
Baru tumbang tahun 1998 ? (Kelemahan Orde Baru)
LAMPIRAN
Indonesia dalam Arus Sejarah, 2010
Komentar Asvi
Warman Adam
Buku setebal 635 halaman dengan 24 topik bahasan ini memang ditunggu-tunggu
masyarakat. Pada awal reformasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan
bahwa Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang disunting Nugroho Notosusanto tidak
lagi dijadikan rujukan. Sebab itu perlu ditulis buku pedoman yang baru.
Meskipun demikian, penyunting umum Prof Dr Taufik Abdullah mengatakan bahwa
buku ini bukan dimaksudkan sebagai “buku babon” sebagaimana halnya SNI pada
masa Orde Baru. Buku yang disusun dengan model ensiklopedi secara tematis ini
merupakan pengayaan perbendaharaan pengetahuan sejarah dari waktu ke waktu.
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang “status” yang disandang buku ini,
keberhasilan penyelesaiannya patut diacungi jempol setelah mengalami berbagai
“bongkar pasang” tim penyusun. Di samping beberapa nama baru, di dalam daftar
penulis terdapat pakar yang memang sangat ahli di bidangnya seperti Thee Kian
Wie, Leo Suryadinata dan Edi Sedyawati. Walaupun tulisan Saleh Djamhari tentang
“Lahirnya Orde Baru” masih ditulis dengan perspektif Angkatan Darat yang
menyerang Soekarno dan tulisan Ketut Ardhana berjudul “Konflik Lokal Setelah
Kudeta yang Gagal” meskipun pembantaian massal tahun 1965 itu digerakkan secara
nasional, penyunting buku ini secara tepat sudah menulis aksi yang terjadi saat
itu sebagai Gerakan 30 September (G30S) tanpa strip atau embel-embel PKI.
Sebuah bab pendahuluan yang menautkan benang merah buku ini serta menggambarkan
pertumbuhan, kejayaan dan keruntuhan Orde Baru masih perlu ditulis.
Sejarah Nasional Indonesia (edisi pemutakhiran), Balai
Pustaka, 2008
Tanggapan Asvi
Warman Adam
Tahun 2008 terbit buku R.P.Soejono dan R.Z.Leirissa (editor pemutakhiran), Sejarah
Nasional Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka). Dalam tempo singkat buku
yang terdiri enam jilid senilai Rp 825.000 telah dicetak ulang. Mengingat
harganya yang cukup mahal mungkin bukan pribadi yang membeli melainkan
sekolah-sekolah yang kini telah memiliki anggaran yang meningkat pesat.
Buku Sejarah Nasional Indonesia pertama kali terbit sebanyak enam jilid
tahun 1975. Walaupun muncul kontroversi terutama jilid terakhir, buku tersebut
tetap dijadikan rujukan sampai ujung Orde Baru. Setelah itu, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Juwono Sudarsono mengatakan bahwa buku “babon” ini tidak berlaku
lagi. Oleh sebab itu sejarawan Taufik Abdullah ditugasi membentuk tim menyusun
ulang buku tersebut yang belum terbit sampai sekarang.
Kini penerbit Balai Pustaka mengambil inisiatif merevisi buku Sejarah
Nasional Indonesia (SNI) yang lama mengingat langkanya “sumber rujukan
masyarakat terutama pelajar dan mahasiswa”. Istilah yang digunakan adalah
pemutakhiran buku yakni penambahan data, pengubahan/pengaturan subbab dan
perbaikan redaksional. Editor umum untuk paket buku ini adalah RP Soejono dan RZ
Leirissa yang sudah terlibat dalam edisi terdahulu.
SNI menggambarkan sejarah Indonesia dari dulu sampai sekarang. Jilid
pertama tentang Zaman Prasejarah diikuti dengan jilid berikutnya Zaman Kuno
(awal Masehi sampai akhir akhir abad XV) yang melukiskan Perkembangan
Kerajaan-Kerajaan Nusantara berlatar Hindu dan Budha. Pada jilid III dijelaskan
tentang Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia
(1500-1800).
“Kemunculan Penjajah di Indonesia 1700-1900” dibahas pada jilid IV.
Selanjutnya jilid V tentang Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda.
Narasi tentang VOC yang sebelumnya pada jilid V dipindahkan pada jilid IV.
Diusahakan agar semua penelitian mutakhir tentang VOV yang dapat diperoleh di
tanah air dapat dimasukkan.
Namun tidak dibahas “Preanger Stelsel” (penanaman kopi di Jawa Barat)
karena literaturnya tidak ada di Indonesia. Jilid VI tentang Zaman Jepang dan
Zaman Republik Indonesia.
Ada beberapa subbab yang ditambahkan seperti ““Pertumbuhan dan Perkembangan
Kerajaan Islam pada enam kepulauan Indonesia” pada jilid III. Subbab mengenai
“Perkembangan Ekonomi Masa Kolonial dengan segala aspeknya sampai dengan Masa
Depresi tahun 1930-an” dimasukkan pada jilid V. Selain itu, disinggung pula
unsur pesantren, kepanduan dan gerakan perempuan. Pada jilid VI ditambahkan
arsitektur era Sukarno yang merupakan bagian disertasi Yuke Ardhiati.
Jilid terakhir SNI yang disunting Saleh A Djamhari ini masih ditulis dengan
paradigma lama seperti berikut. “Menurut Suharto, perubahan hanya dapat
dilaksanakan dengan pembangunan nasional. Sejak tahun 1967 dilakukan
Pembangunan Lima Tahun yang hasilnya dapat dirasakan rakyat. Di samping
pembangunan fisik material Suharto memperhatikan bidang ideologi Pancasila.
Oleh sebab itu masa pemerintahan Suharto disebut masa demokrasi Pancasila.
Pancasila disosialisasikan dan penataran dilakukan di seluruh instansi
pemerintah. Kekuatan sosial politik disederhanakan. Fungsi dan peran politik ABRI
lebih ditegaskan bahkan kemudian menjadi dominan.”
Masih terdapat berbagai kontroversi misalnya mengenai pembunuhan terhadap
enam Jenderal pada 1 Oktober 1965. Pers saat itu memberitakan tentang kemaluan
jendral yang disilet. Kini gambaran itu diperhalus “Visum dokter menunjukkan
bahwa para perwira itu telah mengalami penganiayaan berat” (hal 487). Namun
visum itu tidak dilampirkan, seakan tetap disembunyikan dari masyarakat.
Pembunuhan massal yang terjadi tahun 1965/1966 yang memakan korban sedikitnya 500.000
jiwa tidak diungkapkan secara jelas.
Peristiwa penting dari segi politik olahraga yakni Asian Games dan Ganefo
hanya disinggung selintas, demikian juga tentang diorama Monas yang sudah
dibahas secara rinci dalam buku Katherine McGregor (2008). Pada tanggal 11
Maret 1996, tiga orang Jenderal pergi ke Bogor agar Bung Karno “tidak merasa
terpencil” (hal 549). Ini persis dongeng versi Orde Baru.
Maret 1966 Suharto membubarkan PKI dan menahan 15 orang Menteri, tetapi
tidak disebutkan pemulangan 4 batalyon pasukan Tjakrabirawa yang loyal terhadap
Presiden Sukarno dan pengontrolan pers (TVRI, RRI dan mediamassa lain) yang
tidak kalah signifikan dalam rangka pengambilalihan kekuasaan.
Tahun 1967 Presiden Sukarno menyampaikan pidato di depan paripurna MPRS
yang komposisi keanggotaannya sudah dirombak Suharto. Pidato tersebut menurut
buku ini “mendapat tanggapan dari seluruh rakyat, dengan pendapat Presiden
Sukarno berusaha menambah gawatnya situasi politik”. Padahal Pelengkap
Nawaksara itu mengungkapkan siapa dalang G30S. Buku ini tidak lupa mengutip
harian Berita Yudha 26 Januari 1967 “Para alim ulama Jabar mengatakan tidak lagi mengakui
Presiden Sukarno sebagai Presiden karena telah melakukan pelanggaran terhadap
syariat Islam dan UUD 1945 serta TAP MPRS”. Tidak dijelaskan syariat Islam yang
mana yang dilanggar Bung Karno.
Pada sub-bab Konflik, Kekerasan dan Komnas HAM berbagai pelanggaran HAM
berat disinggung tetapi dalam perspektif kekerasan belaka. Pembuangan tahanan
politik lebih dari 10 ribu orang ke pulau Buru (1969-1979) tidak digolongkan
sebagai pelanggaran HAM berat. Demikian pula dengan kasus Tanjung Priok yang
dikatakan berakar pada radikalisme. Peristiwa Talangsari diuraikan sesuai
keterangan resmi pemerintah. Penjelasan mengenai Peristiwa 12 November 1991 di
Santa Cruz, Dili, dikutip dari buku terbitan Pusat Sejarah TNI.
Peristiwa 27 Juli 1996 semata-mata bentrokan antara pendukung Megawati
dengan Surjadi. Penjelasan Kasospol ABRI Syarwan Hamid dikutip bahwa masalah ini
tidak murni masalah intern PDI, sudah meluas dengan masuknya pelbagai
kepentingan yang beraliansi dengan pimpinan PDI. Tidak jelas apakah itu mengacu
kepada Megawati atau Surjadi. Namun uraian mengenai kekerasan terkesan
dituduhkan kepada pendukung Megawati
Massa membakar Departemen Pertanian, Bank Kesawan, Showroom Toyota 2000,
23 buah mobil hangus. Deskripsi perusakan ini diawali dengan “Pendukung
Megawati yang terkonsentrasi di depan gedung bioskop Megaria mencoba menembus
barikade polisi. Massa kemudian mundur ke arah Cikini, Salemba dan Proklamasi”
dan diakhiri dengan kalimat “ Aksi pendukung Megawati masih berlanjut sampai 28
Juli 1996.”
Buku baru mengenai Omar Dani, Latief, Aidit, Sudisman, Oei Tjoe Tat sekedar
disebut dalam Kepustakaan. Demikian pula terjemahan buku Robert Cribb tentang
pembantaian 1965/1966 di Jawa/Bali hanya dipajang. Tesis Abdul Syukur mengenai
gerakan Usroh di Lampung tidak dibahas. Referensi utama jilid VI ini tetaplah
karya Jenderal Nasution 17 judul sedangkan Nugroho Nosotusanto 16 buah (di luar
artikel). Pada halaman 672 tertulis “Kamis tanggal 21 Mei 1998 sekitar pukul
09.00 WIB Presiden membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai Presiden RI di
Istana Merdeka”. Pernyataan ini sungguh keliru. Kalau Suharto mengundurkan diri,
ia harus membacakan pertanggungjawaban di depan MPR. Tetapi dengan lihainya ia
menyatakan“berhenti sebagai Presiden”. Buku SNI ini belum bisa dijadikan
rujukan.
1 Disampaikan
dalam seminar sehari “Membangun Paradigma Baru Pendidikan Sejarah SMA” yang
diadakan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia dan Institut Sejarah Sosial Indonesia
dengan dukungan HIVOS pada Galeri Nasional Jakarta, 5 Maret 2010.
2 “Pelajaran
Sejarah Nasional Jangan Hanya Sebagai Pengetahuan, tapi Betul-Betul untuk
Ditanamkan pada Anak Didik”, Kompas, 27 Mei 1982.
3 Darmiasti, Penulisan Buku
Pelajaran Sejarah Indonesia Untuk Sekolah Menengah Atas 1964-1984: Sejarah Demi
Kekuasaan, tesis S-2 UI, 2002.
4 Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia no 264/U/1985.
5 Buku ini
diterbitkan oleh Sekretariat Negara pada tahun 1975 dengan penulis mayoritas
dari Pusat Sejarah ABRI.
6 Garis-Garis
Besar Program Pengajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa untuk SMTA, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.
7 Marc Ferro, Histoire sous
surveillance, Paris: Calman-Levy, 1985.
sumber:
http://nuansa-pendikar.blogspot.com/2012/02/menanamkan-nasionalisme-pada-era-orde.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar