Menanamkan Nasionalisme Pada Era Orde Baru dan Era Reformasi


Oleh: Asvi Warman Adam
Menanamkan nasionalisme pada siswa telah dilakukan pada masa Orde Baru dengan memasukkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dalam kurikulum sekolah. Hal ini dilatarbelakangi hasrat Presiden Soeharto agar pelajaran sejarah tidak sekedar mengajarkan pengetahuan sejarah belaka, melainkan juga menanamkan nilai-nilai perjuangan bangsa dalam hati siswa. Keinginan itu muncul setelah dia mendapat masukan dari Jenderal M Jusuf bahwa calon taruna Akabri memiliki pengetahuan yang dangkal tentang sejarah perjuangan bangsa2. Dari kasus ini kelihatan bahwa urusan internal ABRI ternyata dijadikan urusan nasional.
Untuk merealisasikan mata pelajaran PSPB di sekolah, Presiden menugaskan Sekretaris Kabinet, Moerdiono, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nugroho Notosusanto, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Hasan Walinono, Kepala BP7 Hari Soeharto dan Ketua Umum PGRI Basuni Suryamiharja untuk membahas masalah ini. Sebelum menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nugroho Notosusanto telah lama mengusulkan pendidikan sejarah perjuangan bangsa bahkan itu telah disampaikan semasa jabatan Menteri dipegang oleh Mashuri, Sumantri Brodjonegoro, Syarif Thayeb dan Daoed Joesoef.3 Pada prinsipnya Menteri-Menteri itu setuju tetapi pada saat kebijakan itu akan dilaksanakan di tingkat bawah muncul berbagai kendala. Barulah saat Nugroho menjadi Menteri, niat itu terkabul. Sebagaimana halnya dengan kebijakan lain pada masa Orde Baru, maka program ini pun memerlukan dasar hukum yang jelas. Maka berdasarkan TAP MPR no. II/MPR/1982 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara disebutkan “ Dalam rangka meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda, maka di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta, wajib diberikan pendidikan sejarah perjuangan bangsa”.
Perbedaan antara PSPB dengan pelajaran sejarah adalah pada aspek afektif dari ranah tujuan pendidikan4 yaitu lebih menekankan penghayatan nilai-nilai. Misalnya setelah mendengar cerita tentang perang Aceh, siswa dapat menghayati semangat perjuangan yang dilakukan para pahlawan dari Aceh yang menentang penjajah Belanda. PSPB mulai dilaksanakan pada tahun ajaran 1984/1985 mulai dari tingkat TK (Taman Kanak-Kanak), SD, SMP sampai SMA. Sebelum buku khusus tentang PSPB diterbitkan, maka buku “30 tahun Indonesia Merdeka”5 dan buku Sejarah Nasional Indonesia untuk SMU jilid III yang disunting oleh Nugroho Nosotusanto dan Yusmar Bari (keduanya sejarawan dari Pusat Sejarah ABRI) menjadi buku pegangan.
Tujuan instruksional 6 dari PSPB ini antara lain: a) Siswa menyadari bahwa penjajahan Belanda menyebabkan penderitaan rakyat Indonesia, b) Siswa meyakini kebenaran perjuangan para pahlawan dalam mengusir penjajahan, c) Siswa menyadari bahwa persatuan dan kesatuan telah mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan, d) Siswa menyadari bahwa politik “divide et impera” Belanda dapat terlaksana karena tidak adanya persatuan dan kesatuan, e) Siswa meyakini bahwa tidak adanya persatuan dan pengutamaan kepentingan pribadi dan golongan mengakibatkan pemerintahan yang menyimpang dari UUD 1945 (bahan pengajaran tentang RIS), f) Siswa menyadari bahwa aksi-aksi sepihak PKI merupakan pemaksaan kehendak secara sepihak untuk menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, g) Siswa menyadari bahwa kesatuan-kesatuan aksi melawan PKI didorong oleh keberanian membela kemerdekaan dan keadilan, h) Siswa meyakini bahwa Orde Baru mengutamakan kepentingan Negara dan Masyarakat.
Tujuan pengajaran sejarah tersebut jelas bermuatan politis yang sesuai dengan pandangan rezim yang berkuasa. Bahwa “persatuan dan kesatuan” mutlak perlu, Orde Baru mesti didukung sedangkan PKI harus “diganyang”. Mata pelajaran PSPB tidak diajarkan lagi sejak tahun 1994 dengan keluarnya
Kurikulum 1994 yang tidak memasukkan lagi PSPB. Aspek sejarah diajarkan dalam mata pelajaran sejarah, sedangkan aspek moral/nilai diberikan dalam pelajaran PKN (Pelajaran Kewarga Negaraan). Alasan untuk menghentikannya adalah alasan teknis. Karena pengajaran PSPB menekankan kepentingan afektif dan itu tidak tercapai dalam prakteknya di lapangan. Protes atau kritik PSPB memang pernah dilontarkan oleh berbagai sejarawan antara lain Abdurrachman Surjomihardjo tentang substansi PSPB itu. Tetapi alasan yang dipakai untuk menghentikannya adalah alasan teknis di atas.

Sejarah untuk legitimasi rezim

Menurut Marc Ferro7 penulisan sejarah sangat tergantung dari foyer atau dapur tempat sejarah itu diolah dan dimasak. Sejarah yang ditulis oleh Universitas, partai, Gereja atau lembaga penelitian militer tentu akan berbeda. Sejarah resmi pada masa Orde Baru dibuat atau didominasi penulisannya oleh Pusat Sejarah ABRI. Dengan demikian kepentingan militer terlihat kentara dalam penulisan sejarah tersebut.
Pada masa-masa terakhir pemerintahan Sukarno memang ada upaya untuk menggunakan sejarah bagi kepentingan politik “mencapai sosialisme Indonesia”. Namun usaha untuk memonopoli kebenaran sejarah tidak sempat dilakukan seperti halnya pada masa kekuasaan Soeharto. Pada era Orde Baru sejarah dijadikan sebagai alat kepentingan penguasa dengan menciptakan wacana bahwa Orba pengemban setia amanat UUD 45 dan Pancasila serta pelopor pembangunan masyarakat. Fungsi itu tercakup dalam tiga tema utama tafsir sejarah penguasa: 1) persatuan dan kesatuan, 2) ideologi dan sistem politik yang benar, 3) pewarisan nilai.
Sejarah juga dimanfaatkan untuk menggalang kekuatan internal tentara. Menurut Nugroho Notosusanto, “Sejarah adalah wahana yang paling efektif” untuk memperkuat semangat integrasi ABRI”. Sesuai dengan seminar TNI AD tahun 1972, maka dicanangkan pelestarian nilai-nilai 45. Tujuan pewarisan nilai, jiwa dan semangat 1945 itu untuk mengenang generasi AD yang berjuang dalam perang kemerdekaan. Nilai 45 itu menurut Kharis Suhud adalah “mengatasi paham golongan serta mendahulukan kepentingan umum atau bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok dan perorangan”. Jadi tujuan ganda dari pewarisan nilai 45 itu ada dua, ke dalam agar komponen ABRI senantiasa kompak dan ke luar, agar masyarakat sipil meniru keteladanan dan mengagumi kepahlawanan militer.
Ini menjadi alasan kuat untuk mengagungkan masa “perang kemerdekaan”. Masa itu menduduki tempat terhormat dalam wacana sejarah penguasa. Sebagaimana tertuang dalam doktrin dwifungsi, kebanggaan dan klaim bahwa tentara adalah pejuang kemerdekaan yang setia mempertahankan dan berjasa menyelamatkan Republik hasil Proklamasi Kemerdekaan ini menjadi alasan ABRI untuk berperan di luar tugas militer dalam berbagai segi kehidupan.
Kalau perang kemerdekakan itu membanggakan, tidak demikian halnya dengan kehidupan dalam demokrasi liberal sampai demokrasi terpimpin. Pengalaman itu tidak saja dipandang membahayakan militer dan memperlemah perjuangan demi kepentingan politiknya yaitu konsolidasi kekuasaan dalam rangka melangsungkan pembangunan ekonomi. Masa sebelum Orde Baru disebut Orde Lama dan digambarkan penuh keburukan: pertentangan ideologi, pemberontakan, kebobrokan moral, kemacetan pembangunan ekonomi, pendeknya semua yang mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara. Itu terjadi karena orang menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945 dengan ideologi dan sistem politik yang lain. Kemudian muncul Orde Baru yang menyelamatkan negara dan bangsa dari krisis sosial politik 1965.
Menurut konstruksi sejarah Orde Baru, rezim ini muncul secara konstitusionalisme, artinya melalui ketentuan hukum (Surat Perintah 11 Maret yang disahkan kemudian dengan TAP MPRS dan seterusnya ). Penegakan Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen melahirkan stabilitas politik dan ekonomi. Persatuan dan kesatuan dan pembangunan hanya bisa dicapai dengan memegang teguh Pancasila dan UUD 1945. Sebab itu kehadiran Orde Baru yang menjaga Pancasila dan UUD 1945 diperlukan.
Dengan kontruksi sejarah seperti itu, Orba mengajukan alasan pembenaran pengambilalihan kekuasaan oleh penegak Orba dan sekaligus mempertahankan kehadiran mereka.

Perubahan sejak era Reformasi

Terjadi berbagai perubahan penting setelah berakhirnya kepemimpinan Jenderal Soeharto. Berbagai buku dan tayangan televisi mengenai sejarah yang dulu tidak mungkin bisa ditampilkan kini telah dapat dinikmati masyarakat Indonesia secara luas. Namun tetap belum ada buku pedoman atau rujukan untuk pengajaran sejarah di sekolah seperti yang pernah dibuat pada era Orde Baru. Buku Indonesia dalam Arus Sejarah yang bakal terbit, masih belum tepat dijadikan rujukan menyangkut periode tertentu. Buku Sejarah Nasional Indonesia edisi pemutakhiran terbitan Balai Pustaka masih memiliki berbagai kekurangan. Jadi selain dari terbatasnya jam pengajaran sejarah dibanding materi yang harus disampaikan, ketiadaan buku pedoman juga menjadi persoalan.
Tidak ada lagi kontrol penulisan sejarah resmi seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Dalam kurikulum KTSP tahun 2006 penulisan istilah G30S (dalam kurikulum berbasis kompentensi 2004) dikembalikan kepada istilah yang digunakan selama Orde Baru yakni G30S/PKI. Namun jika Indonesia dalam Arus Sejarah yang disunting oleh Prof Taufik Abdullah dan Prof AB Lapian yang terdiri dari 8 jilid itu dianggap sebagai buku pedoman, maka kini penulisannya sudah dibakukan (kembali) menjadi G30S. Bila keterbatasan waktu untuk mengajarkan materi yang demikian banyak (sungguhpun terdapat pula ironi yaitu terbuangnya --kabarnya secara tidak sengaja sejarah Timor Timur dari kurikulum) dicoba “disiasati” dengan pemusatan perhatian kepada penanaman identitas kebangsaan, maka aspek yang relevan yang diprioritaskan.
Tujuan pendidikan sejarah kebangsaan ini jelas berbeda dengan tujuan khusus PSPB. Walaupun masih dapat digunakan tujuan umumnya agar “masyarakat khususnya generasi penerus bisa meniru keteladanan dan menghindari kegagalan generasi pendahulu”. Sejarah merupakan alat untuk menghidupkan dan memelihara gagasan tentang bangsa yaitu” menularkan nilai-nilai luhur, melestarikan budaya, memupuk kebanggaan nasional dan menggalang persatuan dan kesatuan bangsa”.
Perlu waktu 25-30 tahun untuk menunggu dibukanya arsip tertentu di berbagai negara di dunia. Sebab itu saya berpandangan bahwa seyogianya periode pengajaran sejarah dibatasi sampai pada peristiwa yang terjadi 30 tahun silam atau sebelumnya. Diperlukan rentang waktu yang cukup untuk menilai atau mengkaji lebih dalam suatu kejadian sejarah. Era reformasi yang dimulai sejak tahun 1998 sebaiknya belum diajarkan di kelas karena prosesnya masih berlangsung dan belum selesai. Bilamana tidak disepakati angka 25/30 tahun itu, maka paling tidak pengajaran sejarah berhenti pada tahun 1998 dengan berhenti Soeharto sebagai Presiden RI.
Identitas bangsa diketahui dengan melacak asal-usul bangsa itu di samping mengetahui secara akurat perkembangan nama bangsa tersebut. Tempat tinggal dan berusaha suatu bangsa disebut tanah air. Signifikansi letak dan kekayaan alam yang ada di tanah air itu perlu dikaji lebih mendalam
Kalau kita berbicara tentang nasionalisme maka tonggak terpenting sejarah Indonesia adalah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan ikrar tersebut kita menyatakan sebagai bangsa yang merdeka, lepas dari penjajahan dan masuk dalam komunitas internasional untuk mewujudkan perdamaian dunia. Kita sebagai bangsa mampu menjalankan pemerintahan yang mandiri tidak didikte oleh kekuasaan asing.
Berdasarkan pemikiran di atas, menurut hemat saya, materi sejarah yang memprioritaskan pendidikan kebangsaan seyogianya memuat aspek sebagai berikut:

Materi Esensial Sejarah Kebangsaan Indonesia
1)      Asal usul bangsa Indonesia: Siapakah kita, berasal dari mana, unsur pembentuk bangsa
2)      Sejarah nama Indonesia
3)      Wilayah yang ditempati: posisi strategis (negara maritim, wawasan nusantara) dan sumber daya alam. Dampak dari letak dan kekayaan alam.
4)      Kerajaan tradisional, pencapaian pada kerajaan-kerajaan seperti Sriwijaya, Majapahit dan Banten.
5)      Penjajahan bangsa Eropa dan perlawanan daerah
6)      Pergerakan kebangsaan sejak awal abad XX (dari etnonasionalisme menjadi nasionalisme)
7)      Sumpah Pemuda dan Manifesto Perhimpunan Indonesia 1925
8)      Perubahan signifikan pada Jaman Jepang
9)      Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945
10)  Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
11)  11)Mengisi kemerdekaan, masa awal 1945-1950 (kekacauan transisi pemerintahan, diplomasi (politisi/diplomat), perjuangan bersenjata (tentara/polisi), dukungan rakyat)
12)  Perang saudara pada beberapa daerah 1950-2005 (dari RMS sampai dengan GAM)
13)  Percobaan dua demokrasi: Demokrasi liberal 1950-1959 (Perdebatan Konstituante) dan Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (Revolusi Belum Selesai)
14)  14)Orde Baru 1965/1966-1998 (Peralihan kekuasaan dalam konteks Perang Dingin dan Pencapaian Orde Baru).
15)  15)Mengapa Orde Baru tumbang tahun 1998 ? (Kelemahan Orde Baru)

LAMPIRAN
Indonesia dalam Arus Sejarah, 2010
Komentar Asvi Warman Adam

Buku setebal 635 halaman dengan 24 topik bahasan ini memang ditunggu-tunggu masyarakat. Pada awal reformasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang disunting Nugroho Notosusanto tidak lagi dijadikan rujukan. Sebab itu perlu ditulis buku pedoman yang baru. Meskipun demikian, penyunting umum Prof Dr Taufik Abdullah mengatakan bahwa buku ini bukan dimaksudkan sebagai “buku babon” sebagaimana halnya SNI pada masa Orde Baru. Buku yang disusun dengan model ensiklopedi secara tematis ini merupakan pengayaan perbendaharaan pengetahuan sejarah dari waktu ke waktu.
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang “status” yang disandang buku ini, keberhasilan penyelesaiannya patut diacungi jempol setelah mengalami berbagai “bongkar pasang” tim penyusun. Di samping beberapa nama baru, di dalam daftar penulis terdapat pakar yang memang sangat ahli di bidangnya seperti Thee Kian Wie, Leo Suryadinata dan Edi Sedyawati. Walaupun tulisan Saleh Djamhari tentang “Lahirnya Orde Baru” masih ditulis dengan perspektif Angkatan Darat yang menyerang Soekarno dan tulisan Ketut Ardhana berjudul “Konflik Lokal Setelah Kudeta yang Gagal” meskipun pembantaian massal tahun 1965 itu digerakkan secara nasional, penyunting buku ini secara tepat sudah menulis aksi yang terjadi saat itu sebagai Gerakan 30 September (G30S) tanpa strip atau embel-embel PKI. Sebuah bab pendahuluan yang menautkan benang merah buku ini serta menggambarkan pertumbuhan, kejayaan dan keruntuhan Orde Baru masih perlu ditulis.

Sejarah Nasional Indonesia (edisi pemutakhiran), Balai Pustaka, 2008

Tanggapan Asvi Warman Adam
Tahun 2008 terbit buku R.P.Soejono dan R.Z.Leirissa (editor pemutakhiran), Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka). Dalam tempo singkat buku yang terdiri enam jilid senilai Rp 825.000 telah dicetak ulang. Mengingat harganya yang cukup mahal mungkin bukan pribadi yang membeli melainkan sekolah-sekolah yang kini telah memiliki anggaran yang meningkat pesat.
Buku Sejarah Nasional Indonesia pertama kali terbit sebanyak enam jilid tahun 1975. Walaupun muncul kontroversi terutama jilid terakhir, buku tersebut tetap dijadikan rujukan sampai ujung Orde Baru. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Sudarsono mengatakan bahwa buku “babon” ini tidak berlaku lagi. Oleh sebab itu sejarawan Taufik Abdullah ditugasi membentuk tim menyusun ulang buku tersebut yang belum terbit sampai sekarang.
Kini penerbit Balai Pustaka mengambil inisiatif merevisi buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang lama mengingat langkanya “sumber rujukan masyarakat terutama pelajar dan mahasiswa”. Istilah yang digunakan adalah pemutakhiran buku yakni penambahan data, pengubahan/pengaturan subbab dan perbaikan redaksional. Editor umum untuk paket buku ini adalah RP Soejono dan RZ Leirissa yang sudah terlibat dalam edisi terdahulu.
SNI menggambarkan sejarah Indonesia dari dulu sampai sekarang. Jilid pertama tentang Zaman Prasejarah diikuti dengan jilid berikutnya Zaman Kuno (awal Masehi sampai akhir akhir abad XV) yang melukiskan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Nusantara berlatar Hindu dan Budha. Pada jilid III dijelaskan tentang Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia (1500-1800).
“Kemunculan Penjajah di Indonesia 1700-1900” dibahas pada jilid IV. Selanjutnya jilid V tentang Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Narasi tentang VOC yang sebelumnya pada jilid V dipindahkan pada jilid IV. Diusahakan agar semua penelitian mutakhir tentang VOV yang dapat diperoleh di tanah air dapat dimasukkan.
Namun tidak dibahas “Preanger Stelsel” (penanaman kopi di Jawa Barat) karena literaturnya tidak ada di Indonesia. Jilid VI tentang Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia.
Ada beberapa subbab yang ditambahkan seperti ““Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam pada enam kepulauan Indonesia” pada jilid III. Subbab mengenai “Perkembangan Ekonomi Masa Kolonial dengan segala aspeknya sampai dengan Masa Depresi tahun 1930-an” dimasukkan pada jilid V. Selain itu, disinggung pula unsur pesantren, kepanduan dan gerakan perempuan. Pada jilid VI ditambahkan arsitektur era Sukarno yang merupakan bagian disertasi Yuke Ardhiati.
Jilid terakhir SNI yang disunting Saleh A Djamhari ini masih ditulis dengan paradigma lama seperti berikut. “Menurut Suharto, perubahan hanya dapat dilaksanakan dengan pembangunan nasional. Sejak tahun 1967 dilakukan Pembangunan Lima Tahun yang hasilnya dapat dirasakan rakyat. Di samping pembangunan fisik material Suharto memperhatikan bidang ideologi Pancasila. Oleh sebab itu masa pemerintahan Suharto disebut masa demokrasi Pancasila. Pancasila disosialisasikan dan penataran dilakukan di seluruh instansi pemerintah. Kekuatan sosial politik disederhanakan. Fungsi dan peran politik ABRI lebih ditegaskan bahkan kemudian menjadi dominan.”
Masih terdapat berbagai kontroversi misalnya mengenai pembunuhan terhadap enam Jenderal pada 1 Oktober 1965. Pers saat itu memberitakan tentang kemaluan jendral yang disilet. Kini gambaran itu diperhalus “Visum dokter menunjukkan bahwa para perwira itu telah mengalami penganiayaan berat” (hal 487). Namun visum itu tidak dilampirkan, seakan tetap disembunyikan dari masyarakat. Pembunuhan massal yang terjadi tahun 1965/1966 yang memakan korban sedikitnya 500.000 jiwa tidak diungkapkan secara jelas.
Peristiwa penting dari segi politik olahraga yakni Asian Games dan Ganefo hanya disinggung selintas, demikian juga tentang diorama Monas yang sudah dibahas secara rinci dalam buku Katherine McGregor (2008). Pada tanggal 11 Maret 1996, tiga orang Jenderal pergi ke Bogor agar Bung Karno “tidak merasa terpencil” (hal 549). Ini persis dongeng versi Orde Baru.
Maret 1966 Suharto membubarkan PKI dan menahan 15 orang Menteri, tetapi tidak disebutkan pemulangan 4 batalyon pasukan Tjakrabirawa yang loyal terhadap Presiden Sukarno dan pengontrolan pers (TVRI, RRI dan mediamassa lain) yang tidak kalah signifikan dalam rangka pengambilalihan kekuasaan.
Tahun 1967 Presiden Sukarno menyampaikan pidato di depan paripurna MPRS yang komposisi keanggotaannya sudah dirombak Suharto. Pidato tersebut menurut buku ini “mendapat tanggapan dari seluruh rakyat, dengan pendapat Presiden Sukarno berusaha menambah gawatnya situasi politik”. Padahal Pelengkap Nawaksara itu mengungkapkan siapa dalang G30S. Buku ini tidak lupa mengutip harian Berita Yudha 26 Januari 1967 “Para alim ulama Jabar mengatakan tidak lagi mengakui Presiden Sukarno sebagai Presiden karena telah melakukan pelanggaran terhadap syariat Islam dan UUD 1945 serta TAP MPRS”. Tidak dijelaskan syariat Islam yang mana yang dilanggar Bung Karno.
Pada sub-bab Konflik, Kekerasan dan Komnas HAM berbagai pelanggaran HAM berat disinggung tetapi dalam perspektif kekerasan belaka. Pembuangan tahanan politik lebih dari 10 ribu orang ke pulau Buru (1969-1979) tidak digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat. Demikian pula dengan kasus Tanjung Priok yang dikatakan berakar pada radikalisme. Peristiwa Talangsari diuraikan sesuai keterangan resmi pemerintah. Penjelasan mengenai Peristiwa 12 November 1991 di Santa Cruz, Dili, dikutip dari buku terbitan Pusat Sejarah TNI.
Peristiwa 27 Juli 1996 semata-mata bentrokan antara pendukung Megawati dengan Surjadi. Penjelasan Kasospol ABRI Syarwan Hamid dikutip bahwa masalah ini tidak murni masalah intern PDI, sudah meluas dengan masuknya pelbagai kepentingan yang beraliansi dengan pimpinan PDI. Tidak jelas apakah itu mengacu kepada Megawati atau Surjadi. Namun uraian mengenai kekerasan terkesan dituduhkan kepada pendukung Megawati  Massa membakar Departemen Pertanian, Bank Kesawan, Showroom Toyota 2000, 23 buah mobil hangus. Deskripsi perusakan ini diawali dengan “Pendukung Megawati yang terkonsentrasi di depan gedung bioskop Megaria mencoba menembus barikade polisi. Massa kemudian mundur ke arah Cikini, Salemba dan Proklamasi” dan diakhiri dengan kalimat “ Aksi pendukung Megawati masih berlanjut sampai 28 Juli 1996.”
Buku baru mengenai Omar Dani, Latief, Aidit, Sudisman, Oei Tjoe Tat sekedar disebut dalam Kepustakaan. Demikian pula terjemahan buku Robert Cribb tentang pembantaian 1965/1966 di Jawa/Bali hanya dipajang. Tesis Abdul Syukur mengenai gerakan Usroh di Lampung tidak dibahas. Referensi utama jilid VI ini tetaplah karya Jenderal Nasution 17 judul sedangkan Nugroho Nosotusanto 16 buah (di luar artikel). Pada halaman 672 tertulis “Kamis tanggal 21 Mei 1998 sekitar pukul 09.00 WIB Presiden membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai Presiden RI di Istana Merdeka”. Pernyataan ini sungguh keliru. Kalau Suharto mengundurkan diri, ia harus membacakan pertanggungjawaban di depan MPR. Tetapi dengan lihainya ia menyatakan“berhenti sebagai Presiden”. Buku SNI ini belum bisa dijadikan rujukan.

1 Disampaikan dalam seminar sehari “Membangun Paradigma Baru Pendidikan Sejarah SMA” yang diadakan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia dan Institut Sejarah Sosial Indonesia dengan dukungan HIVOS pada Galeri Nasional Jakarta, 5 Maret 2010.
2 “Pelajaran Sejarah Nasional Jangan Hanya Sebagai Pengetahuan, tapi Betul-Betul untuk Ditanamkan pada Anak Didik”, Kompas, 27 Mei 1982.
3 Darmiasti, Penulisan Buku Pelajaran Sejarah Indonesia Untuk Sekolah Menengah Atas 1964-1984: Sejarah Demi Kekuasaan, tesis S-2 UI, 2002.
4 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia no 264/U/1985.
5 Buku ini diterbitkan oleh Sekretariat Negara pada tahun 1975 dengan penulis mayoritas dari Pusat Sejarah ABRI.
6 Garis-Garis Besar Program Pengajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa untuk SMTA, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.
7 Marc Ferro, Histoire sous surveillance, Paris: Calman-Levy, 1985.

sumber:
http://nuansa-pendikar.blogspot.com/2012/02/menanamkan-nasionalisme-pada-era-orde.html

Implementasi MPI dengan Manggau Amas

Pelajaran matematika dan fisika yang dianggap oleh sebagian orang itu sulit, saya menyukainya. Pelajaran bahasa Inggris yang katanya membuat...