Mengetahui, lalu memahami


 “Dalam klasifikasi prilaku belajar, kita menggunakan taksonomi bloom, kita mengenal ada tiga ranah atau domain. Ranah tersebut adalah kognitif, afektif, dan psikomotor. Nah, dalam setiap ranah terbagi lagi dalam beberapa tingkatan kemampuan. Ranah kognitif terdiri dari enam tingkatan, yaitu mengetahui, memahami, aplikasi, analisa, sintesa, evaluasi....” Dosen ku terus menjelaskan sambil sesekali menulis pada whiteboard dan berdialog dengan mahasiswanya.
Diakhir perkuliahan, aku melihat kembali hasil coret-coret ku selama kuliah tadi. Disana tertulis “mengetahui” baru kemudian “memahami”. Tiba-tiba, flashback dua tahun lalu terasa memenuhi kepala ku. Saat itu, eyang tercinta (miss u eyang :-*) menjelaskan konsep ini dengan cara yang berbeda. Beliau menjelaskan dengan mencontohkan. “Mengetahui: bu sri cantik. Memahami: mengapa bu sri cantik?. Aplikasi: bagaimana supaya cantik seperti ibu sri?. Analisis: apa latar belakang bu sri cantik?. Sistesis: adakah hubungan bu sri cantik dengan disiplin?. Evaluasi: adakah kebaikan dan keburukan bu sri cantik?”. Sampai saat ini, aku masih mengingatnya.
Kita harus mengetahui terlebih dalu, agar kita bisa memahami. Sedikit kesimpulan yang ku tarik sendiri. Jika dipikir-pikir, tidak salah juga. Bagaimana kita bisa memahami suatu perkara jika kita tidak pernah mengetahui perkara itu. Begitu juga dalam memahami seseorang. Bagaimana mungkin kita bisa memahami seseorang jika kita pernah tahu dan mengenal orang tersebut.
Ternyata salah, ketika kita memaksa orang lain untuk memahami dan mengerti kita, tanpa mereka tahu apa yang membuat mereka harus pahami. Beranalogilah dengan diri sendiri. Kita akan sulit memahami orang lain, tanpa tahu mengapa. Mungkin kita bisa memahami dengan alasan tertentu –sayang misalnya- namun, memahami tanpa mengetahui itu tak jauh berbeda bengan membeli kucing dalam kotak (ga jaman pake karung hehee). Kita hanya dapat menebak, apa, siapa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana (5W 1 H dunk). Syukur-syukur jika kita berkhusnuzhon, semua mungkin akan baik-baik saja. Namun, yang namanya manusia terkadang muncul pula pikiran yang tidak-tidak. Jika hal ini yang terjadi, kita yang akan terganggu. Selain dosa tentunya, pikran yang tidak-tidak tentu akan mengganggu. Pada level tinggi, dapat mengakibatkan stress. Dan jangan sampai berlanjut ke rumah sakit jiwa. Belum lagi ketika kita tahu, apa alasan sebenarnya kita harus memahami. Ketika kita berbaik sangka, lalu tau alasan sebenarnya. Jika alasannya sesuai prasangka tak masalah, namun jika alasan itu melenceng jauh. Entah seberapa hancur perasaan ini L. Begitu pula sebaliknya, saat kita sudah kacau dengan pikiran macam-macam, lalu tahu alasannya. Akan sangat lega mengetahuinya jika tidak seperti yang dipikirkan. Namun level kekacauan pikiran akan bertambah ketika alasannya seperti yang diduga.
Jadi intinya, jangan pernah memaksa orang lain untuk memahami anda, tanpa alasan yang membuat mereka tahu dan mengerti mengapa harus memahami anda. Ketika anda  terpaksa harus memahami orang lain tanpa tahu apa alasannya, berbaiksangkalah. Apapun yang terjadi kemudian, tersenyum lah. Agar anda bebas dari rumah sakit jiwa J.

Sedikit nasehat untuk diri sendiri, yang kadang terlalu berharap bisa dipahami olehnya.
Ditulis dengan inspirasi dari dosen-dosen hebat yang dengan suka rela berbagi ilmu pada kami, mahasiswa history crew ‘10.
Banjarmasin, 23 Oktober 2012

Implementasi MPI dengan Manggau Amas

Pelajaran matematika dan fisika yang dianggap oleh sebagian orang itu sulit, saya menyukainya. Pelajaran bahasa Inggris yang katanya membuat...